Rabu, 24 Juli 2013

Di Bawah Hujan


Di bawah hujan...

♥♥♥
Hujan,
adakah yang tidak kuketahui mengenai serahasia yang kau bisikkan di telingaku kala itu? Pada rintikmulah aku belajar tabah untuk rindu yang sulit kuhitung entah berapa banyak.
♥♥♥


Hanya aku yang seperti ini, barangkali. Mungkin banyak yang menyukai hujan, tapi hanya sedikit yang harus bangun tengah malam lalu bermain dengan hujan. Aku termasuk di dalamnya. Bagiku hujan tak hanya sekedar tetesan demi tetesan yang jatuh ke bumi lalu menyentuh tanah dan menggenangi apa saja. Tapi lebih dari itu, hujan bagiku adalah sahabat. Sahabat sejati tepatnya.
Tepat pukul dua belas malam, saat semua penghuni kamar mess karyawan telah lelap dalam tidurnya. Hujan jatuh sangat deras, tadinya tak ingin beranjak lagi dari bekapan selimut. Tapi nada hujan itu seperti memanggilku untuk lekas keluar menemuinya dan bermain dengannya.
“Hei, kamu memanggilku?” Tanyaku pada air yang jatuh dari atap, tanganku menengadah dan menampung setiap tetesnya tapi selalu saja mengalir di sela-sela jariku.
Aku berbicara sendiri, tapi seolah-olah hujan meresponnya ketika perlahan setiap rintiknya menyapu wajahku.
“Kamu ingin bermain-main? Tanyaku lagi, tersenyum dan bahkan tertawa.
Aku merasakan bahagia bermain hujan malam itu, lima belas menit aku bermain hujan. Tanpa mengganti pakaian, aku langsung bersembunyi di balik selimut karena sudah kedinginan.
Keesokan harinya aku bangun dengan dua lubang hidung yang mampet, semua teman heran.
“Lah kamu bangun tidur kok langsung flu gitu?”
“Gak tahu nih.” Jawabku seolah tidak tahu apa-apa padahal aku tahu penyebabnya.
“Tetap masuk kerja kan?”
“Ya iyalah, masa’ flu ringan gini aja mesti bolos kerja sih. Uang lemburannya balik ke perusahaan dong!”
“Itu kamu pinter, makanya malam-malam tuh jangan keluyuran.”
“Siapa yang keluyuran.” Tampang pura-pura bego
“Trus yang keluar tengah malam pas hujan itu siapa? Hantu? Kamu itu kebiasaan yah, tiap hujan turun gak siang gak malam selalu saja main basah-basahan.”
“Tahu darimana semalam aku keluar?”
“Orang aku dengar pintu berderit di buka. Kalau bukan kamu yang tergila-gila sama hujan siapa lagi? Aku mau negur tapi malas, sudah ngantuk berat. Jadi ya sudah, lakukan sesukamu.”
“He...he...he...” Jawabku hanya cengengesan.
“Dasar edan.”
“Biarin, yang penting senang.”
....

      Di kantor aku kebanyakan bersinnya daripada kerjanya, sampai bos malah suruh pulang karena berisik dan dianggap penyebar virus. Lagian kok baru kali ini aku sampai flu berat begini. Akhirnya tissue sekotak pun jadi korban keganasan (maaf) ingus. Sore harinya hujan turun lagi, aku hanya berdiri di balik jendela menatap keluar. Aku berbicara sendiri, kebiasaan buruk itu kambuh lagi.
      “Kamu kok tega sih sama aku Jan? Sampai buat aku flu berat begini? Gak kasian? Harusnya kan kamu gak ngajak aku main sampai larut malam. Gini kan jadinya, dimarahin bos karena berisiklah, menyebar viruslah. Pokoknya hari ini aku marah sama kamu, gak mau main lagi sama kamu.” Tuturku panjang lebar.
      Aku tidak tahu kalau di belakangku sudah berdiri Jee.
      “Heh, ngapain berdiri disitu sambil kacak pinggang bicara sendiri terus pakai marah-marah lagi?” Tegurnya ketus.
      “Ish, ngapain sih kamu?”
      “Idih sewot!”
      “Gih sana!”
      “Ogah.”
      “Yasudah, aku yang pergi.” Jawabku ketus.

      Aku merasa tertangkap basah, sama mahluk aneh itu. Mahluk tukang ngurusin urusan orang tepatnya. Aku gondok setengah mati dan menjadi pendiam selama di dalam ruang kantor. Sampai jam kantor selesai, masih saja tersisa perasaan jengkel itu di benakku.
      “Kenapa harus dia sih? Kenapa harus mahluk aneh itu coba?” Ucapku dalam hati, melangkah cepat-cepat menuju kamar mess karyawan.
     
      “Hei..... Oi...! Budeg amat sih.” Teriak Jee
      Dia mensejajari langkahku. Aku diam saja.
      “Eh, budeg kamu ya? Dipanggilin gak nyaut-nyaut. Makan yuk!” Cengirnya.
      “Idih, udah ngatain budeg, malah ngajakin makan malam. Aneh kamu emang.” Jawabku semakin mempercepat langkah.
      “Mau kemana sih?”
      “....”
      “Eh...”
      “....”
      “Hei, budeg!” Ucapnya setengah berteriak ke arahku. Saking kesalnya aku balas teriak padanya.
      “Woiii... sadar gak sih? Pertama, kamu udah ganggu aku. Kedua, kamu juga udah ganggu aku. Ketiga, kamu udah ganggu aku bangettt! Jadi kesimpulannya, kamu itu mahluk parasit dan sangat mengganggu. Ngerti?”
      Dadaku naik turun menahan amarah, gak pernah sekesal ini. Dia diam saja dan entah kenapa “byuuurrr...” hujan pun turun. Aku ingin tahu apa dia akan berlari atau tetap diam saja seperti sekarang ini. Sebab jelas aku tidak akan berlari, aku suka hujan. Tapi situasi seperti ini cukup membuatku kaget, hujan turun ketika aku marah dan marahnya sama mahluk aneh di depanku ini.
      “Puas?” Tanyanya memecah suara hujan.
      “Untuk?” jawabku.
      “Penolakanmu.”
      “Maksud kamu?”
      “Kamu gak pernah sadar kan? Kamu gak pernah mau tahu dan kamu gak pernah menyadari kehadiran aku selama ini.” Dia setengah berteriak karena hujan makin deras.
      “Aku gak ngerti sama apa yang barusan kamu omongin.”
      “Kamu selalu menganggapku mahluk aneh dan mahluk pengganggu. Bagimu hujan adalah satu-satunya pusat perhatianmu, sementara aku selalu memperhatikanmu tapi selalu kamu anggap parasit.”
      “Ada apa denganmu?”
      “Aku suka sama kamu.” Teriaknya seperti hendak meluapkan semua yang menyesak dalam dadanya.
      “Kamu gila ya?”
      “Aku gak ngerti dengan cara apa lagi aku harus mengatakan ini semua. Aku suka kamu, sayang sama kamu. Paham?”
      Aku hanya menggeleng. Aku shock, aku gak ngerti sama apa yang semua ia katakan barusan. Sampai dia menggenggam kedua tanganku lalu mulai melanjutkan perkataannya.
      “Aku selalu berharap bisa melihat hujan atau menikmati hujan seperti ini berdua denganmu. Tapi kamu selalu menghindariku seolah melihat aku ini sebagai orang yang jahat dan tidak berperasaan. Kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk berbicara, untuk sekedar dekat dengan kamu. Kamu hanya memiliki duniamu sendiri, dunia yang sepertinya hanya mau kamu bagi dengan hujan.”
      “Kenapa jadi begini?” tanyaku polos.
      “Dru, dengar aku sekali ini saja. Perhatikan kata-kataku. Aku, suka sama kamu.” Ucapnya sangat pelan.
      “Aku mau pulang.” Aku melepas genggaman tangannya dan berlari di bawah hujan menuju kamar mess.
      Sementara Jee masih terpaku di bawah hujan, menghadapi sikapku yang ia tidak mengerti.
      ....
      Keesokan harinya aku agak telat masuk kantor, aku kesiangan (lagi). Semalaman aku begadang, begadang untuk sesuatu yang tidak jelas. Sangat menyita waktu dan pikiranku, semakin aku ingin membuang bayangan wajah yang kuyup itu, semakin ia menghantuiku. Aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, bolak balik di tempat tidur, menutupi seluruh badan dengan selimut tapi sama sekali tidak tidur. Pikiranku lari kemana-mana dan selalu saja berakhir pada peristiwa semalam di bawah hujan.
      “Lesu benar Dru?” tanya seorang karyawan.
      “Iya, flu berat. Semalam kena hujan sampai basah kuyup.”
      “Bukannya kamu malah senang ya kalau kena hujan?”
      “Iya. Tapi ini beda...”
      “Bedanya dimana?”
      “Sudahlah...!”
      “Yee dasar. Eh udah tahu belum?”
      “Belum.”
      “Iyalah, aku belum bilang juga.”
      “Ya udah cepat bilang.”
      “Jee mengundurkan diri.”
      “....”
      Aku terdiam sangat lama. Mematung tepatnya. Menyadari ada yang ganjil Sherena menepuk pundakku.
      “Kenapa kamu? Bukankah itu berita bagus buat kamu?”
     
      Aku tidak merespon ledekan Sherena, aku bergegas keluar. Perasaanku menjadi aneh dan aku seperti hendak muntah. Aku masih mengatur nafas karena berlari ke WC. Ada banyak pertanyaan yang melompat dari kepalaku.
      “Kenapa Jee keluar?”
      “Kenapa mendadak?”
      “Kenapa tidak bilang?”
      Dan semua kenapa yang lainnya. Kepalaku pusing dibuatnya. Sampai akhirnya aku mendapati sebagian dari ragaku kembali.
      “Oh apa karena peristiwa semalam?”
      “Lalu kenapa harus mengundurkan diri segala?”
      “Trus kapan dia akan meninggalkan site ini?”
      Terus dan terus pertanyaan demi pertanyaan menghimpit kepalaku. Lalu ambruk!
      ...
      ...
      ...
      To    : Jee
      Subject: Meski Terlambat

Akhirnya aku tahu, kenapa kamu pergi. Ini barangkali tidak benar dan tidak pada tempatnya. Tapi jujur, semenjak malam itu aku melihat kamu sebagai orang yang berbeda. Kamu kelihatan tulus dan jujur, itu semua aku dapati dari sorot matamu. Aku bukan tidak mengerti dengan semua ucapanmu, aku hanya berpura-pura tidak mengerti. Sebab aku sendiri tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan yang meledak-ledak secara mendadak. Sejujurnya, aku juga suka sama kamu. Tidak hanya sekedar suka, tapi ada perasaan sayang. Begitu melihat matamu, aku baru sadar, aku sudah jauh membuangmu. Maaf! Aku baru menyadari ini semua setelah kepergianmu. Silahkan cap aku perempuan tidak berperasaan atau apalah sesukamu saja.
Hujan, aku mengingatmu. Sebelumnya aku tidak pernah mengingat siapa-siapa saat hujan kecuali ibu. Tapi kali ini ingatanku pada ibu harus terbagi dengan ingatanku padamu. Rinai hujan basahi sebagian permukaan wajahku, di sanalah rindu mengendap satu satu. Hanya untukmu.
Aku tahu ini mungkin terlambat, tapi aku ingin memulai lagi.

Send email...

Aku mengirimkan email ini setelah tujuh bulan keperiganmu. Aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua. Memikirkan bahwa aku benar benar tidak salah terhadap menanggapi perasaan yang muncul tiba-tiba.

Bibirku brgetar, kembali menyebutmu dalam doa. Sehela tarikan nafas, menjadi lebih berat. Pejamku menuju padamu, wajah terakhir yang kuingat. Di bawah hujan, aku jatuh cinta.
♥♥♥




Tidak ada komentar:

Posting Komentar