Rabu, 31 Juli 2013

Aku Mencintaimu, Tertanda HUJAN!



“Aku Mencintaimu”,  Tertanda HUJAN!

Terjebak dalam belukar matamu
Terbakar sinaran menyilaukan ketika engkau menatap
Terhanyut ketika engkau menangis
Akhirnya aku tak bisa kemana-mana,
Selain kembali lagi pada matamu yang bening.

Damailah hati, semesta bernyanyi
Kau menjelma hujan,
Kau rindu yang sampai di jemariku
Kau rindu yang sampai di rumahku
Kau rindu yang mengajakku menari
Kau rindu yang sesakkan dadaku.
Akhirnya padamu juga rindu berlari.

Harusnya tak perlu lagi aku menunggu,
kuyakin kau akan kembali bersama rintik hujan yang endapkan laraku.
Pada sunyi telah kusabdakan mengenai kau dan aku
Yang bersanding di pelaminan di atas awan kita kan satukan janji.
Aku mencintaimu,
Tertanda, HUJAN!

Minggu, 28 Juli 2013

PETI MATI



"Dia Sudah Kembali?"

Mata ibu mulai berkaca-kaca, pertanyaannya hanya mendapat jawaban berupa anggukan. Kami Ibu anak berpelukan.

"Tapi dimana dia?"

Pertanyaan ibu diikuti beberapa pasang mata yang ikut hadir di rumahnya yang tidak terlalu besar itu. Tatapan ibu nanar dan juga mengawasi setiap orang. Ibu mencari tentu saja.

"Dimana dia?

Ibu lagi-lagi bertanya.

"Tuan, dimana ayah saya?"

Sebuah peti mati muncul diantara kerumunan orang. Di bawa oleh 6 orang berpakaian hitam-hitam. Ibu kaget, aku hanya bisa membekap mulutku yang menganga.

"Mana suamiku?
"Mana ayahku?

Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dan jawabannya hanya satu. Peti Mati.

Ayah gugur di medan perang.

-------------------------------
Setiap pertanyaan akan selalu memiliki jawaban, tapi tidak semua pertanyaan mendapatkan jawaban yang baik.

#Untukmu2 -Hujan-

-HUJAN-



Hujan...
Apakah kita hanya akan seperti ini?
Aku hanya bisa memandangmu,
terkadang menyentuh tapi tak mampu tergenggam
kau selalu lolos diantara jejariku.

Hujan...
Apakah kita akan terus begini?
aku merindukanmu
tapi tak pernah merasa kau merindukanku
kau selalu raib dari mataku.

Hujan...
Bisakah kita?
Bisakah aku dan kamu jadi 'kita'
yang tak pernah berakhir jadi sejarah.

Hujan...
mataku
lelah
tapi
hatiku
tak mau jera
mencintaimu
sekali lagi.

Hingga membuatmu paham
bahwa aku selalu menyertakan doa
di setiap kali sujudku menyentuh sajadah
bahwa suatu waktu
pada hari yang tak pernah kita ketahui
pertemuan adalah akhir dari segalanya.

Hujan...
aku menunggu
meski tak tentu waktu
kapan
engkau 
pulang.

------------
Hujanrintih2

Ini Tentang Ibu

Ini Tentang Ibu...


Ini tentang ibuku, beliau sosok yang bisa dibilang srikandi keluarga. Bayangin saja, menghidupi 6 orang anak yang jarak umurnya tidak terlalu jauh. Sungguh repotnya. Ibu untuk bisa tetap bertahan hidup, ia bertani, ia berjualan dan ia melakukan apa saja untuk bisa makan sehari-hari. Bapak? Bapak ada, tapi ibulah yang seingatku dan seingat saudara-saudaraku paling paling mengusahakan hidup kami. 

Makan nasi garam dan minyak tanak itu sudah seperti tradisi di rumah kami. Bahkan kadang pula hanya makan nasi saja. Ikan teri adalah makanan favorit yang sering kali membuat aku dan kakak-kakakku rebutan. Bayangkan, ikan teri saja bisa membuat kita berenam rebutan apalagi ayam atau daging? Ya, kala itu kehidupan keluarga memang terasa sekali sulitnya. Berkali-kali aku dan kakakku terserang penyakit kolera atau bisul-bisul bernanah. Bahkan pernah aku dan kakakku yang kedua dan ketiga nyaris seluruh badan terkena bisul bernanah. Ibu tak pernah mengeluh akan hal itu, sekalipun tak. Luar biasa....

Tak hanya itu, kadang ulat keluar dari luka bernanah di tubuh kakakku. Mulai saat itulah aku fobia ulat. Kakakku digunduli kepalanya karena kepala tersebut menjadi sarang luka bernanah dan ulat-ulat kecil seringkali melompat dari lubang luka itu. Ibu tidak pernah risih, ibu tidak pernah jijik. Beliau selalu punya cara mengatasi setiap masalah. Itu yang selalu aku liat dari ibu, selain tabah, sabar, kuat, ibu juga adalah contoh terbaik dalam keluarga.

Membiayai sekolah 6 orang anak, tadinya kami pikir sekolah kami akan terlantar. Tapi tidak juga. Kakak pertama selesai S1 di bidang Sospol, kakak kedua pun selesai S1 PGSD, kakak ketiga juga selesai S1 PAI, Kakak ke empat S1 Bahasa Indonesia, Kakak kelima selesai S1 PAI, Aku? Aku juga selesai S1 Pendidikan Matematika. Itulah hebatnya tenaga, usaha, dan do'a seorang ibu.

Dulu, sebelum bapak jadi PNS dengan profesi bujang sekolah itulah kehidupan paling keras yang pernah kami sekeluarga alami. Dihina orang, dikucilkan, diabaikan dan banyak lagi yang kadang membuat ibu kerap bermuram durja. Tapi ibu selalu punya kekuatan untuk melawan semua penderitaan. Tak percaya kalo bapak bisa jadi PNS, betapa tidak ijazah SD saja bapak tidak punya. Tapi berkat mukjizat dari Allah SWT bapak diangkat langsung oleh pemerintah daerah dan pusat sebagai PNS dan memakai seragam kebesarannya itu. Titik balik kehidupan kami dimulai dari sana. Meski tak begitu pesat.

Mau tahu kenapa bapak bisa jadi PNS padahal ijazah SD saja tak punya? Karena kakek mewakafkan tanah luasnya untuk pembangunan sebuah sekolah SMP di desa kami. Sebagai jasa, maka diangkatlah bapak jadi PNS. Bapak tidak bisa membaca dan menulis tapi bapak bisa membaca kitab Qur'an mulai dari yang berbaris sampai kitab Gundul. :D ah, mari lupakan sejenak tentang itu.

Nah, meskipun ayah sudah jadi PNS tapi keadaan keuangan keluarga masih memburuk. Aku sekolah dari SD sampai SMA selalu memakai baju seragam bekas kakak, aku tidak pernah dibelikan baju baru untuk sekolah. Karena aku pun ingin demikian, kasihan ibu bila aku harus ngotot dibelikan baju seragam sekolah yang baru. Ibu harus dapat uang dari mana? Meski demikian satu hal yang tidak pernah aku lupa adalah setiap kali ibu menghadiahi aku seragam sekolah bekas kakak, sebelum diserahkan padaku ibu selalu mencucinya hingga bersih dan menyetrikanya pakai setrika arang. Biar kelihatan lebih baru dan rapih. Ibu memang hebat dalam hal membuat barang lama jadi barang baru. :)

"Kamu sekolahlah yang benar, jangan kecewakan ibu. Ibu di sini (sambil menunjuk dada kiri aku), di hati kamu. Kalau kamu merasa tersesat ingat ibu dan kamu akan mendapatkan jalan atas masalahmu."

Itu kalimat ibu yang selalu ampuh membuat aku menangis dan jadi kuat kembali.

Ibu itu cantik, perempuan pertama paling cantik yang pernah kutemui. Aku perempuan keduanya. hehehe
Ibu bagi aku adalah segala-galanya yang menjadi prioritas. Karena ibu pulalah aku tidak ingin menyerah dalam sekolah, selalu berusaha memberikan yang terbaik. Di SMP aku pernah berjanji pada ibu, bahwa kelak ibu akan berdiri di atas podium aula sekolah untuk menerima penghargaanku sebagai siswa dengan nilai terbaik. Ya, jadi di sekolah dulu di SMP aku, setiap kali pembagian raport orang tua siswa di panggil untuk mengambi raport anak-anaknya. Dan siapapun yang anaknya meraih nilai paling tinggi di kelas maka ia berhak naik podium dan menerima penghargaan dari Kepala Sekolah. Aku berhasil membuat ibu berdiri lebih dari sekali di atas podium. BANGGA! 

Akhirnya seirng waktu bergulir, tubuh ibu semakin tua, keriput dimana-mana dan ia sudah bercucu. Ibu pun menderita penyakit Diabetes. Segalanya berubah total, ibu sering sakit-sakit. Keluar masuk rumah sakit entah sudah kali keberapa. Saat aku sudah mengerjakan tugas akhir kuliah yaitu skripsi penyakit ibu semakin parah. Selain diabetes, ibu juga kena penyakit ginjal, jantung dan hati. Penyakit ibu komplikasi. Aku merasa lemah saat itu, pikiran aku terbagi. Kuliah dan kesehatan ibu. Aku harus bolak balik menempuh jarak kurang lebih 60 km tiap minggunya untuk memastikan bahwa keadaan ibu baik-baik saja.

Lalu, ibu akhirnya sudah tidak bisa menahan rasa sakit lagi. Ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat sesaat sebelum fajar dan adzan subuh di masjid rumah sakit di kumandangkan. Padahal sebelumnya ibu telah diberi kabar baik oleh dokter bahwa ia sudah boleh pulang. Tapi malam itu Allah berkehendak lain, ibu memang pulang ke rumah tapi sudah dalam keadaan tak sama lagi.

Di saat-saat terakhir ibu, beliau hanya menatap aku lamaaa sekali kemudian ia memeluk aku sangat dalam. Ibu juga melakukan 'ritual' antara aku dan ibu yaitu mencium wajahku mulai dari kening, pipi dan hidungku. Aku hanya bisa menangis, air mataku semakin deras seiring nafasnya yang mulai tak beraturan. Ibu menuntunku melihat prosesi akan dicabutnya nyawanya mulai dari kaki. Ibu memperlihatkan itu semua padaku, katanya biar suatu saat nanti aku tak pernah takut menghadapi orang mati dan kematian. 

Aku menuntun ibu baca syahadat, namun aku tak bisa lama melakukannya sebab pandanganku sudah lebih dulu gelap. Aku kehilangan ibu. Tepat di saat jadwal ujian akhirku sudah keluar. Padahal aku ingin sekali ibu menyaksikan aku memakai toga kebanggan. Namun semua itu tinggal kenangan. Ibu sudah pergi selama-lamanya dan siapapun tak akan bisa mengubah takdir.

Ibu, berpulang ke rahmatullah menjelang subuh tanggal 2 agustus 2009. Sebentar lagi, genap 4 tahun kepergian ibu. Rindu ini masih sama, rindu yang tak pernah bisa kuelak. Rindu yang selalu membuat aku menggigil di malam buta. Menangis diam-diam dan memeluk bingkai foto aku dan ibu. 

Ibu,
fajar menjemputmu
suara adzan mengantarmu
ke tempat peristirahatan terakhirmu
air mata tak berarti lagi
semua akan kembali
tinggal waktu mengadili
hari itu pasti kan tiba.

Ibu,
terimakasihku
tak terkira rasanya bahagiaku
lahir dari rahim sucimu
menjadi bagian dari darahmu
dan mewarisimi tekstur wajahmu
aku bangga punya ibu.

Ibu,
doa sudah kulangitkan
sebagaimana engkau yang senantiasa
melangitkan doa doa di malam sunyi
untukku, untuk kakak dan untuk ayah
kau selalu berkorban
apapun itu, 
kau selalu punya cara
membuat kami tersenyum
dengan berkata: semua baik-baik saja

Ibu,
aku merindukanmu...

Sabtu, 27 Juli 2013

Cintaku Jauh Di Pulau Dan Lelaki yang Tak tahu jalan Pulang



.....
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ’kan sampai padanya
.....
-Chairil Anwar-

Cintaku jauh di pulau, masih mending ada yang menunggu. 

Kaki kecil Suatan sedang berusaha menyelaraskan langkah sebelah kakinya lagi yang normal. Ini perjalanannya yang kesekian, ia telah meninggalkan kampung halamannya terlalu jauh. Tak lagi terhitung angka dalam kilometer, ia sudah lelah menghitung. 

"Apa kau pulang nanti Suatan?" Tanya seorang teman sesama perantau ketika ia sampai di kedai kopi langganannya.
"Pulang kemana?" Suatan balik bertanya seraya menyeruput dalam kopi hitam di gelasnya.
"Masa kau tak punya kampung halaman?"
"Aku tak ingat jalan pulang. Kau sendiri mau pulang?"
"Iyalah, sudah lama tak berjumpa dengan isteri."
"Kasian isterimu kau tinggal jauh begitu."
"Apa boleh buat." Jawab temannya, ia meneguk habis kopi terakhirnya. Lalu pergi.
...
Suasana di kedai kopi terlalu sepi. Suatan hanya berdua tadi dengan temannya sesama perantau, tapi dia sudah pergi juga. Kini tinggal dia yang menunggu kopi itu habis. Bagaimana ia harus pulang, seseorang yang menunggupun tak ada. Dia sudah terusir, keadaannya yang tak normal membuat ia disebut lelaki tak berguna dalam keluarga. Kini kaki kecilnya nyaris melepuh, ia menghabiskan hidup sendiri.

Dahulu, ia punya kekasih. Jauh di sana. Suatan menyeka titik air yang meleleh di kedua pipinya saat ramai-ramai orang bersuka cita menyambut hari kemenangan. Lebaran kesekiannya tanpa keluarga. 

"Ratih, apa kau masih ingat padaku? Aku hanya memperhatikanmu seorang. Tapi karena keadaanku, aku harus rela melepas demi kebahagiaanmu. Aku bukan lelaki yang baik untukmu, aku hanyalah perantau yang tak pernah menemukan jalan pulang. Selamat lebaran, semoga kau dalam suka cita." Suatan berkata lirih sembari memandang terangnya langit.

Suatan menenggak habis kopi di gelas itu, membayar lalu pulang. Sepi selalu saja melangkah bersamanya. Ia bersyair, syair yang ia kutip dari seorang tokoh besar yang mati muda. 

....
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ’kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan dintaku!?

Manisku jauh di pulau,
kalau memang ’ku mati, dia mati iseng sendiri.
....
Sumber Gambar: Google.

Jumat, 26 Juli 2013

#Untukmu1 : Hujan Tanpa Awan




Hujan Tanpa Awan

Jaket abu-abu dan sekelumit kisah kelabu
Aku dan kamu hanya sehari yang sore.
Lalu kita pulang membawa sebuah tanda tanya.
Kita bercerai padahal belum memulai
Hujan mengucur di lenganmu
Ini sepi selalu ada.

Ada tanyaku yang tak sempat kau jawab
Semoga kau ingat.
Bila tak punya jawaban,
biar hujan menggantikan tugasmu
mungkin seluruhmu memanglah abu abu.

Di tubuhku telah jadi sarang luka
Pada bekas ciummu, di sana tepat terasa nyeri
Aku ingat namamu yang dulu kau tulis di punggungku
Tapi di punggung itu pula telah bersarang luka menganga
Darah darah mengalir di sana
Sebagai hujan yang kau biarkan tanpa awan.

Hujan rintih rintih, 27 Juli 2013



Tentang Kenangan


........
Wherever you go whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes or how my heart breaks
I will be right here waiting for you
........



Right Here Waiting For You... Lagu ini selalu mengingatkan aku padamu, entah dimanapun dan dalam keadaan apapun jika lagu ini mengalun pelan maka sejenak seluruh aktifitas aku hentikan. liriknya begitu dalam, sebagaimana aku selalu menunggu. Barangkali sampai habis waktu. 

Aku sebut ia cinta pertama, atau cinta yang menggugah pikirku untuk yang pertama kalinya. Just R, begitu aku memanggilnya. Kali ini aku kembali menuliskan tentangmu setelah sekian lama ya R. Jika dinominalkan dalam angka, ada 365 hari dalam satu tahun. Aku menunggumu 7 tahun 1 bulan. Berarti 7 x 365 + 30 hari = 2585 hari belum lagi dinominalkan ke dalam sepersekian detik waktu yang mana jika dikaitkan lagi soal rasa maka tak terhitung lamanya aku sudah menunggu. 

Jika teringat derai derai tawa kita setiap kali bersama, aku kerap tersenyum sendiri dalam keheningan. Betapa kuatnya rasa kita kala itu ya. Jalan-jalan romantis kita di suatu sore di pantai dan makan malam yang selalu berakhir berantakan. Juga seluruh cerita-cerita kekonyolan yang ada. Aku merasa bodoh waktu kau memintaku berkenalan dengan orang tuamu, waktu itu jujur aku gugup dan takut karena itu aku kabur meninggalkanmu. Aku belum sanggup...

Setelah itu kita berdua saling diam, kau marah. Ah, bahkan dalam keadaan marahpun kau tetap saja orang yang pertama kali kucintai. Aku senang melihatmu dalam keadaan marah sama halnya aku senang menatapmu ketika engkau tidur. Aku sering takut cinta kita berakhir, juga tidak ingin kisah kita seperti dua mata kita "Berdekatan namun tidak bisa saling menatap".

Iyah, R kamu sungguh benar-benar membuatku bahagia kala itu. Sampai akhirnya semua kebahagiaan itu hilang. Aku ingat betul, aku menangis selama 3 hari di kamar. Aku tak pernah menangis selama itu. Hanya ketika kau menelponku untuk terakhir kalinya, saat itulah aku berhenti menangis. Aku akhirnya paham, mengapa kita harus menjadi sepasang dua bola mata itu.

Bagaimana pun aku tetap menunggu, aku ingin sekali waktu berpihak sekali lagi kepada pertemuan kita. Rinduku nyaris meledak, aku tidak tahu menghadapi kecamuk rindu di malam buta saat diam-diam kau menyelinap ke dalam benakku dan aku memimpikanmu. 

Hei, R kamu apa kabar? 
Sudah kau dapatkan wanita yang kau cintai?
Aku belum. Entah kapan, bisa menemukan sosok yang sama atau setidaknya bisa membuatku bahagia sebahagia bersamamu.

Aku titipkan rindu untukmu,
lewat desau angin, kukirim lagi senyum dan tawaku
semoga kau ingat. 



Just R, 
untukmu aku menunggu

Kamis, 25 Juli 2013

#HARIPUISI: Tiba-tiba Musim Berhenti

TIBA-TIBA MUSIM BERHENTI



Mengapa kau masih saja berdiam
padahal hati mulai rapuh
bukankah kau pandai mempuisikan rasa?
Menyekap kata menjadi makna , lalu satu satu kau hantarkan ke dada perempuanmu.
Lalu kenapa kau diam?
Saat menghadapi mataku yang kuyup karena tak sanggup menanggung sakit.

Tiba-tiba musim berhenti,
Setiap tanya menguap di udara
Kau bahkan tak mengerti arti hampa. Rindupun tak.
Sampai akhirnya aku paham,
di musim penghujan kau menjelma karangan bunga
bukan buatku, tapi untuk kekasih yang kau lipat di dadamu.

Kuputuskan lebih baik kita saling asing
Sebagaimana dulu kita tak mengenal hati satu sama lain
Biar saja sepi meriap bersama risau
dan kukuburkan rindu di malam sunyi.
Barangkali inilah takdir kita melepas untuk saling melupa, semoga kau bahagia!

Hujanrintih2, 26 juli 2013 

#Juli - Karena Saya Rindu



Sudah lama sekali rasanya dunia blog saya tinggalkan, bahkan nyaris terlupakan. Beberapa blog malah terbengkalai dan akhirnya kehapus dengan sendirinya. Entah karena lupa password atau karena rasa kebosanan yang menganjak naik tiba-tiba di kepala. Biasanya sih karena kebosanan. :D

Kali ini, saya kembali membuat blog bercuap cuap seperti di rumah sendiri. Berusaha kembali mengingat-ngingat gimana cara mempercantik tampilan dan lain-lain. Tapi yang terpenting sekarang adalah bagaimana memperhatikan konten dan tetap konsisten terhadap konten tersebut. Yaks, kali ini saya berusaha menorehkan kata-kata yang identik dengan hujan. Mengapa? Karena saya sangat menyukai hujan. Ibaratnya sudah bersenyawa dengan hujan. Awalnya hanya penikmat, lalu kemudian menjadi pengamat, lalu akhirnya jatuh cinta. ceileh... :)

Hujan adalah bagaimana berekspresi dan mengeksplore setiap kata hingga akhirnya bertangkai dan jadi sebuah pohon kata. Hujan juga identik dengan rindu, kesunyian, sepi, dan hujan juga identik dengan kenangan.

Saya yakin di dunia ini banyak sekali yang memuja hujan, tapi tak sedikit juga merisaukan kehadirannya. Tapi itulah, apapun yang diciptakan Tuhan adalah sesuatu yang baik dan buruk. Tinggal bagaimana kita menanggapi dan bagaimana menggunakannya. 

Jujur saya sedang sangat merindukan seseorang yang juga identik dengan hujan. Darinyalah aku berpikir untuk menuliskan kata bertangkai lewat syair hujan. sengaja atau tidak barangkali suatu saat nanti dia pun akan membaca setiap kata bertangkai yang ada di blog ini. 

Kayaknya sudah terlalu banyak kata pengantar mengapa saya buat blog lagi. Alasannya yaitu tadi, karena saya sedang RINDU. :)

Salam hujan, Salam kata bertangkai. 

25Juli2013

Rabu, 24 Juli 2013

Di Bawah Hujan


Di bawah hujan...

♥♥♥
Hujan,
adakah yang tidak kuketahui mengenai serahasia yang kau bisikkan di telingaku kala itu? Pada rintikmulah aku belajar tabah untuk rindu yang sulit kuhitung entah berapa banyak.
♥♥♥


Hanya aku yang seperti ini, barangkali. Mungkin banyak yang menyukai hujan, tapi hanya sedikit yang harus bangun tengah malam lalu bermain dengan hujan. Aku termasuk di dalamnya. Bagiku hujan tak hanya sekedar tetesan demi tetesan yang jatuh ke bumi lalu menyentuh tanah dan menggenangi apa saja. Tapi lebih dari itu, hujan bagiku adalah sahabat. Sahabat sejati tepatnya.
Tepat pukul dua belas malam, saat semua penghuni kamar mess karyawan telah lelap dalam tidurnya. Hujan jatuh sangat deras, tadinya tak ingin beranjak lagi dari bekapan selimut. Tapi nada hujan itu seperti memanggilku untuk lekas keluar menemuinya dan bermain dengannya.
“Hei, kamu memanggilku?” Tanyaku pada air yang jatuh dari atap, tanganku menengadah dan menampung setiap tetesnya tapi selalu saja mengalir di sela-sela jariku.
Aku berbicara sendiri, tapi seolah-olah hujan meresponnya ketika perlahan setiap rintiknya menyapu wajahku.
“Kamu ingin bermain-main? Tanyaku lagi, tersenyum dan bahkan tertawa.
Aku merasakan bahagia bermain hujan malam itu, lima belas menit aku bermain hujan. Tanpa mengganti pakaian, aku langsung bersembunyi di balik selimut karena sudah kedinginan.
Keesokan harinya aku bangun dengan dua lubang hidung yang mampet, semua teman heran.
“Lah kamu bangun tidur kok langsung flu gitu?”
“Gak tahu nih.” Jawabku seolah tidak tahu apa-apa padahal aku tahu penyebabnya.
“Tetap masuk kerja kan?”
“Ya iyalah, masa’ flu ringan gini aja mesti bolos kerja sih. Uang lemburannya balik ke perusahaan dong!”
“Itu kamu pinter, makanya malam-malam tuh jangan keluyuran.”
“Siapa yang keluyuran.” Tampang pura-pura bego
“Trus yang keluar tengah malam pas hujan itu siapa? Hantu? Kamu itu kebiasaan yah, tiap hujan turun gak siang gak malam selalu saja main basah-basahan.”
“Tahu darimana semalam aku keluar?”
“Orang aku dengar pintu berderit di buka. Kalau bukan kamu yang tergila-gila sama hujan siapa lagi? Aku mau negur tapi malas, sudah ngantuk berat. Jadi ya sudah, lakukan sesukamu.”
“He...he...he...” Jawabku hanya cengengesan.
“Dasar edan.”
“Biarin, yang penting senang.”
....

      Di kantor aku kebanyakan bersinnya daripada kerjanya, sampai bos malah suruh pulang karena berisik dan dianggap penyebar virus. Lagian kok baru kali ini aku sampai flu berat begini. Akhirnya tissue sekotak pun jadi korban keganasan (maaf) ingus. Sore harinya hujan turun lagi, aku hanya berdiri di balik jendela menatap keluar. Aku berbicara sendiri, kebiasaan buruk itu kambuh lagi.
      “Kamu kok tega sih sama aku Jan? Sampai buat aku flu berat begini? Gak kasian? Harusnya kan kamu gak ngajak aku main sampai larut malam. Gini kan jadinya, dimarahin bos karena berisiklah, menyebar viruslah. Pokoknya hari ini aku marah sama kamu, gak mau main lagi sama kamu.” Tuturku panjang lebar.
      Aku tidak tahu kalau di belakangku sudah berdiri Jee.
      “Heh, ngapain berdiri disitu sambil kacak pinggang bicara sendiri terus pakai marah-marah lagi?” Tegurnya ketus.
      “Ish, ngapain sih kamu?”
      “Idih sewot!”
      “Gih sana!”
      “Ogah.”
      “Yasudah, aku yang pergi.” Jawabku ketus.

      Aku merasa tertangkap basah, sama mahluk aneh itu. Mahluk tukang ngurusin urusan orang tepatnya. Aku gondok setengah mati dan menjadi pendiam selama di dalam ruang kantor. Sampai jam kantor selesai, masih saja tersisa perasaan jengkel itu di benakku.
      “Kenapa harus dia sih? Kenapa harus mahluk aneh itu coba?” Ucapku dalam hati, melangkah cepat-cepat menuju kamar mess karyawan.
     
      “Hei..... Oi...! Budeg amat sih.” Teriak Jee
      Dia mensejajari langkahku. Aku diam saja.
      “Eh, budeg kamu ya? Dipanggilin gak nyaut-nyaut. Makan yuk!” Cengirnya.
      “Idih, udah ngatain budeg, malah ngajakin makan malam. Aneh kamu emang.” Jawabku semakin mempercepat langkah.
      “Mau kemana sih?”
      “....”
      “Eh...”
      “....”
      “Hei, budeg!” Ucapnya setengah berteriak ke arahku. Saking kesalnya aku balas teriak padanya.
      “Woiii... sadar gak sih? Pertama, kamu udah ganggu aku. Kedua, kamu juga udah ganggu aku. Ketiga, kamu udah ganggu aku bangettt! Jadi kesimpulannya, kamu itu mahluk parasit dan sangat mengganggu. Ngerti?”
      Dadaku naik turun menahan amarah, gak pernah sekesal ini. Dia diam saja dan entah kenapa “byuuurrr...” hujan pun turun. Aku ingin tahu apa dia akan berlari atau tetap diam saja seperti sekarang ini. Sebab jelas aku tidak akan berlari, aku suka hujan. Tapi situasi seperti ini cukup membuatku kaget, hujan turun ketika aku marah dan marahnya sama mahluk aneh di depanku ini.
      “Puas?” Tanyanya memecah suara hujan.
      “Untuk?” jawabku.
      “Penolakanmu.”
      “Maksud kamu?”
      “Kamu gak pernah sadar kan? Kamu gak pernah mau tahu dan kamu gak pernah menyadari kehadiran aku selama ini.” Dia setengah berteriak karena hujan makin deras.
      “Aku gak ngerti sama apa yang barusan kamu omongin.”
      “Kamu selalu menganggapku mahluk aneh dan mahluk pengganggu. Bagimu hujan adalah satu-satunya pusat perhatianmu, sementara aku selalu memperhatikanmu tapi selalu kamu anggap parasit.”
      “Ada apa denganmu?”
      “Aku suka sama kamu.” Teriaknya seperti hendak meluapkan semua yang menyesak dalam dadanya.
      “Kamu gila ya?”
      “Aku gak ngerti dengan cara apa lagi aku harus mengatakan ini semua. Aku suka kamu, sayang sama kamu. Paham?”
      Aku hanya menggeleng. Aku shock, aku gak ngerti sama apa yang semua ia katakan barusan. Sampai dia menggenggam kedua tanganku lalu mulai melanjutkan perkataannya.
      “Aku selalu berharap bisa melihat hujan atau menikmati hujan seperti ini berdua denganmu. Tapi kamu selalu menghindariku seolah melihat aku ini sebagai orang yang jahat dan tidak berperasaan. Kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk berbicara, untuk sekedar dekat dengan kamu. Kamu hanya memiliki duniamu sendiri, dunia yang sepertinya hanya mau kamu bagi dengan hujan.”
      “Kenapa jadi begini?” tanyaku polos.
      “Dru, dengar aku sekali ini saja. Perhatikan kata-kataku. Aku, suka sama kamu.” Ucapnya sangat pelan.
      “Aku mau pulang.” Aku melepas genggaman tangannya dan berlari di bawah hujan menuju kamar mess.
      Sementara Jee masih terpaku di bawah hujan, menghadapi sikapku yang ia tidak mengerti.
      ....
      Keesokan harinya aku agak telat masuk kantor, aku kesiangan (lagi). Semalaman aku begadang, begadang untuk sesuatu yang tidak jelas. Sangat menyita waktu dan pikiranku, semakin aku ingin membuang bayangan wajah yang kuyup itu, semakin ia menghantuiku. Aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, bolak balik di tempat tidur, menutupi seluruh badan dengan selimut tapi sama sekali tidak tidur. Pikiranku lari kemana-mana dan selalu saja berakhir pada peristiwa semalam di bawah hujan.
      “Lesu benar Dru?” tanya seorang karyawan.
      “Iya, flu berat. Semalam kena hujan sampai basah kuyup.”
      “Bukannya kamu malah senang ya kalau kena hujan?”
      “Iya. Tapi ini beda...”
      “Bedanya dimana?”
      “Sudahlah...!”
      “Yee dasar. Eh udah tahu belum?”
      “Belum.”
      “Iyalah, aku belum bilang juga.”
      “Ya udah cepat bilang.”
      “Jee mengundurkan diri.”
      “....”
      Aku terdiam sangat lama. Mematung tepatnya. Menyadari ada yang ganjil Sherena menepuk pundakku.
      “Kenapa kamu? Bukankah itu berita bagus buat kamu?”
     
      Aku tidak merespon ledekan Sherena, aku bergegas keluar. Perasaanku menjadi aneh dan aku seperti hendak muntah. Aku masih mengatur nafas karena berlari ke WC. Ada banyak pertanyaan yang melompat dari kepalaku.
      “Kenapa Jee keluar?”
      “Kenapa mendadak?”
      “Kenapa tidak bilang?”
      Dan semua kenapa yang lainnya. Kepalaku pusing dibuatnya. Sampai akhirnya aku mendapati sebagian dari ragaku kembali.
      “Oh apa karena peristiwa semalam?”
      “Lalu kenapa harus mengundurkan diri segala?”
      “Trus kapan dia akan meninggalkan site ini?”
      Terus dan terus pertanyaan demi pertanyaan menghimpit kepalaku. Lalu ambruk!
      ...
      ...
      ...
      To    : Jee
      Subject: Meski Terlambat

Akhirnya aku tahu, kenapa kamu pergi. Ini barangkali tidak benar dan tidak pada tempatnya. Tapi jujur, semenjak malam itu aku melihat kamu sebagai orang yang berbeda. Kamu kelihatan tulus dan jujur, itu semua aku dapati dari sorot matamu. Aku bukan tidak mengerti dengan semua ucapanmu, aku hanya berpura-pura tidak mengerti. Sebab aku sendiri tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan yang meledak-ledak secara mendadak. Sejujurnya, aku juga suka sama kamu. Tidak hanya sekedar suka, tapi ada perasaan sayang. Begitu melihat matamu, aku baru sadar, aku sudah jauh membuangmu. Maaf! Aku baru menyadari ini semua setelah kepergianmu. Silahkan cap aku perempuan tidak berperasaan atau apalah sesukamu saja.
Hujan, aku mengingatmu. Sebelumnya aku tidak pernah mengingat siapa-siapa saat hujan kecuali ibu. Tapi kali ini ingatanku pada ibu harus terbagi dengan ingatanku padamu. Rinai hujan basahi sebagian permukaan wajahku, di sanalah rindu mengendap satu satu. Hanya untukmu.
Aku tahu ini mungkin terlambat, tapi aku ingin memulai lagi.

Send email...

Aku mengirimkan email ini setelah tujuh bulan keperiganmu. Aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua. Memikirkan bahwa aku benar benar tidak salah terhadap menanggapi perasaan yang muncul tiba-tiba.

Bibirku brgetar, kembali menyebutmu dalam doa. Sehela tarikan nafas, menjadi lebih berat. Pejamku menuju padamu, wajah terakhir yang kuingat. Di bawah hujan, aku jatuh cinta.
♥♥♥




Ketika Hujan Datang Terlambat



Hujan selalu jadi perantara ingatan antara aku dan kamu, adakalanya rindu nyaris tak tertahankan. Hujan adalah penemu dan pemisah antaraku dan kamu, kadang aku membenci lalu bersamaan aku merasa telah dipecundangi waktu dan lagi aku kehilanganmu.

Engkau tahu, semenjak pertemuan pertama sore itu aku yakin sekali bahwa saat itu aku sangat 'bahagia'. Untuk pertama kalinya, hujan begitu baik mengantarkan kamu padaku. Rambut ikalmu senantiasa menjuntai di pikiranku, senyummu, dan aromamu. Menjadikan aku perempuan sepi yang menunggu kabar, setelah hari itu aku bingung hendak menjadikan apa rasaku untukmu.

Aku yakin kau tak pernah lupa akanku, sama hal kau tak pernah lupa perihal hujan. Sebab engkau adalah pria hujan itu sendiri. Tapi aku tak mengerti tentang gerak yang kau maksud, gerak untuk saling mendekat. sementara kau sendiri telah menjauhiku serupa ini. Aku sedih, bolehkah?

Hujan kali ini datang terlambat, ada rasa asin yang menyertainya. Begitu pula rasa nyeri yang tak hendak pergi. Entahlah, apa aku benar tentang perasaan ini padamu atau aku salah telah mengartikan sebuah pertemuan. Nyatanya, aku merindukan pelukan dan cium terakhirmu. Segalanya mulai berubah tak lama setelah kita berjumpa, menjadi saling asing yang tak lagi punya rasa. 

Jika boleh jujur, meski hujan datang terlambat aku masih ingin mengatakan: Di sini ada aku yang menunggu, rinduku sedang menanti pelukmu di gerimis senja.

Hujan datang terlambat, tapi aku benar-benar tidak ingin terlambat lagi. Aku merindukanmu, semoga kau tahu.

----------------
Kata Bertangkai, salam hujan untukmu, salam rindu dari hati.