Hujan Yang Turun Sepanjang Hari.
“Aku percaya hujan yang
turun akan selalu membawa ingatan, juga perihal rindu yang datang dari masa
lalu.”
Koran
Pagi:
“Air jatuh ke bumi dengan kecepatan yang
rendah karena titik hujan memiliki bentuk khusus yang meningkatkan efek gesekan
atmosfer dan membantu hujan turun ke bumi dengan kecepat-an yang lebih rendah.
Andaikan bentuk titik hujan berbeda, atau andaikan atmosfer tidak memiliki
sifat gesekan (bayangkan jika hujan terjadi seperti gelembung air yang besar
yang turun dari langit), bumi akan menghadapi kehancuran setiap turun hujan.”
Aku sedikit terkejut dengan paragraf
yang baru saja kubaca dari sebuah artikel di koran pagi ini. Sebuah fakta
tentang hujan, aku tersenyum sekaligus kecut juga membayangkan apabila hujan turun
seperti gelembung air yang besar. Bentuk butiran kecil saja bisa menyebabkan
banjir dimana-mana, apalagi bentuknya seperti gelembung? Bisa tenggelam bumi
ini dan bisa dipastikan porak-poranda. Bersyukur kecepatan hujan ternyata
rendah karena gesekan atmosfer. Tuhan memang menciptakan segala sesuatunya dengan
pas, maka dengan itupula disebut sempurna. Barangkali.
Namun apakah semua yang pas bisa
dikatakan sempurna? Lalu kenapa aku yang disebut orang-orang ‘pas’ bersama
Petra justru berujung perceraian? Ah, lagi-lagi kasus perceraian itu terburai
di kepalaku. Berbagai pertanyaan seolah menghimpit dan memenuhi seisinya. Dadaku
juga mendadak sempit dan tak bisa bernafas senormal tadi. Ada yang mendesak dan
membuat sesak, lalu aku kembali tersesat pada kisah masa lalu.
“Apa yang
menjadi kecemasanmu sayang?”
Tanya
Petra di suatu sore yang gerimis, ketika mendapati diriku tengah berada di
jendela memandang kejauhan jalan di depan rumah.
“Tidak
ada. Aku hanya ingin menikmati sore ini, gerimisnya indah. Teduh.”
Percakapan
ini adalah percakapan sehari setelah aku dan Petra duduk bersanding di depan
penghulu. Mengucap janji setia dan hidup bersama dalam keadaan apapun.
Ya, aku dan Petra bahagia bersama. Dalam
keadaan apapun. Susah senang sudah kita berdua lewati. Sebelum sesuatu yang
sangat besar datang menghujam rumah tangga kami. Rumah tangga yang sudah
berusia tujuh tahun.
“Tadi aku
menemui ibu, dia menanyakan apakah kamu sudah ada tanda-tanda kehamilan?” Masih
dalam suasana gerimis yang lalu menjadi hujan deras sore itu. Kalimat dari
mulut Petra berubah menjadi badai.
“Maaf...”
“Kita
sudah berusaha semampunya bukan? Tapi Tuhan masih menunggu waktu yang tepat
untuk memberi kita malaikat kecil. Bersabarlah...”
Ucapan dia terakhir kali masih
menguatkanku, masih memberi semangat untuk tetap bersabar meski terus diguncang
oleh pertanyaan-pertanyaan yang kerap datang dari keluarga Petra. Terutama ibunya.
Keesokan harinya datanglah badai
yang sesungguhnya itu. Ibu Petra berkunjung ke rumah, disaat Petra sedang
berada di kantor. Bersama seorang perempuan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Entah siapa.
“Petra
belum pulang?” Tanyanya.
“Belum bu.
Mau minum apa?”
“Tidak
usah repot-repot. Kenalkan, ini Vina. Saudara jauh, baru saja pulang dari
Amerika. Sudah S2.”
Kalimat “sudah S2” begitu ditekankan
di depanku, aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi lekas kumengerti mengingat aku
hanya lulusan D1 ilmu komunikasi. Sementara di keluarga Petra pendidikan
tertinggi akan menunjukkan derajat kehormatan di mata keluarga. Aku jelas-jelas
sudah kalah. Namun ada yang masih tidak mengerti mengapa tiba-tiba ibu Petra
datang dan memperkenalkan seorang wanita padaku?
“Kalian
sudah menikah tujuh tahun tapi kok belum punya anak sih? Sebenarnya kalian itu
niat gak sih? Atau justru malah kamu yang belum menginginkan seorang anak? Takut
kamu tak bisa bebas kemana-mana karena harus mengurus anak?”
“....” Aku
tertunduk.
Pertanyaan-pertanyaan
itu seperti peluru. Memang aku wanita apa sampai tak menghendaki seorang anak
dari rahimku?
“Aku dan
mas Petra sudah berusaha bu. Tuhan belum memberi.”
“Halah,
itu pasti hanya alasan kamu saja.”
“Maaf,
bu---
“Maaf
terus yang kamu ucapkan. Sudah, ibu pulang saja sekarang. Sampaikan pada Petra
kalau ibu datang bersama Vina. Suruh dia pulang ke rumah malam ini.”
Aku melihat jelas amarah di wajah
ibu Petra, apalagi ketika ia menatapku dan berlalu pergi tanpa menoleh lagi. Ya Allah....! badai seperti apa ini? Sabarkan
hambamu ya Allah. Aku bergumam dalam sendiri.
Petra baru pulang sore harinya,
kulihat lelah nampak menggantung di wajahnya. Aku ingin segera menyampaikan
pesan ibunya, tapi aku tak tega. Dia pasti lelah sekali.
“Aku
siapin air hangat mas?”
“Boleh. Badan
aku terasa lelah sekali.”
....
“Kamu tak
keberatan jika malam ini aku ke rumah ibu?”
“Oh iya,
tadi ibu memang memintamu ke sana. Tidak apa-apa mas.” Sudah kuduga, ibunya
pasti sudah menelponnya terlebih dahulu. Aku jelas sudah ketinggalan langkah.
“Ibu
kemari?”
“Iyah. Bersama
seorang perempuan.”
“Siapa?”
“Namanya
Vina.”
Aku melihat gurat wajah Petra
tiba-tiba berubah saat kusebut nama Vina. Ia mendadak tak berbicara lagi dan
segera meraih jaketnya, lalu pergi. Badai itu serasa semakin mendekat, aku
merasakannya. Petra pergi bahkan tak mencium keningku seperti biasa. Ada apa
ini?
Sampai akhirnya aku tahu bahwa
perempuan bernama Vina adalah seseorang yang dulu dijodohkan dengan Petra. Aku tak
mengerti maksudnya kenapa Vina sengaja didatangkan oleh ibu Petra dan mengapa
Petra tak pulang selama tiga hari semenjak kepergiannya malam itu.
“Kemana
saja mas? Mengapa semua hal tentangmu seolah-olah kau tutup dariku. Aku hubungi
handphone kamu tidak aktif, aku hubungi orang di rumah ibumu tak ada seorang
pun yang menjawab telponnya. Kau biarkan aku menunggu selama tiga hari tanpa
kabar, apa maksudnya?”
“Aku
capek. Bisa kita bahas ini nanti saja?”
Tak ada kalimat lagi setelah itu. Dia
memilih pergi mengguyur tubuhnya di kamar mandi dan tidur tanpa menyapaku sama
sekali. Ada yang berbeda ketika ia tidur, selama ini ia tak pernah
memunggungiku. Sekarang? Ia sudah melakukannya. Aku hanya menatap punggungnya,
ingin meraih punggung itu tapi tanganku mendadak kelu. Inikah badai yang kau
maksud Tuhan? Mengapa suamiku tak berani lagi memandangku?
Keesokan harinya aku melihat dia
berbicara serius di telpon. Wajahnya nampak gusar, ada kecemasan, ada kemarahan
dan ada banyak hal yang menjadi tanda tanya di kepalaku.
“Ada apa?”
“Tidak ada
apa-apa. Aku berangkat kerja dulu.”
Siangnya ibu Petra datang bersama
sejumlah surat-surat.
“Tanda
tangan di sini.”
“Surat apa
ini bu?”
“Surat
cerai. Kamu dan Petra harus bercerai.”
“Tapi
kenapa harus cerai? Aku dan Petra baik-baik saja bu.”
“Tidak. Kalian
tidak baik-baik saja. Kalau kalian baik-baik saja, kalian pasti sudah punya
anak. Aku tidak ingin membiarkan anak semata wayangku tak memiliki keturunan
sama sekali. Jelas-jelas kamu yang tak bisa memberinya keturunan, mau tidak mau
kau harus segera bercerai dengannya. Dia akan menikah dengan Vina bulan depan.”
Prangggg..............................
Ujung kalimat ibu Petra seperti
tabuhan genderang di siang hari, begitu keras begitu bergemuruh. Bahkan melebihi
suara guntur sekalipun. Aku mendadak limbung. Secepat inikah badai itu melumat
tubuhku?
“Ibu
sekarang pulang. Bawa semua surat-surat itu. Aku tidak akan menandatangani
apapun sampai mas Petra sendiri yang mengucapkan talak padaku.” Emosiku
memuncak dan aku mengusir ibu Petra sambil berteriak. Aku kalap.
Hingga malam aku menangis
sejadi-jadinya. Petra belum pulang. Sementara hujan sudah bergemuruh sejak
siang. Semua serba mendadak. Skenario macam apa ini yang engkau ciptakan Tuhan?
Haruskah rumah tanggaku berakhir seperti ini? Mengapa hanya pertanyaan yang
muncul di kepalaku bukannya jawaban? Bahkan ketika aku meminta jawaban, Kau
tetap menimbunnya dengan pertanyaan?
..........
Petra tak menjelaskan apapun, dia
pulang dalam keadaan kuyup dan mabuk. Sepanjang malam ia mengigau. Aku tak bisa
tidur, aku mengkhawtirkan badannya yang semalam agak hangat. Tapi ternyata
tubuhnya memang tahan terhadap guyuran air hujan. Semula aku menduga ia akan
demam, tapi keesokan harinya ia terbangun dengan tubuh yang segar bugar.
“Kita
cerai.”
“Apa?”
“Belum
jelas?”
“Aku
menceraikan kamu.”
“Ini hanya
lelucon bukan?”
“Bukan. Aku
benar-benar menceraikanmu. Kita tak perlu sidang atau apapun, kita cukup
menandatangani dokumen dan cerai.”
“Semudah
itukah persoalan cerai ini bagimu mas?”
“Mudah
saja.”
“Setan apa
yang merasukimu? Kita masih baik-baik saja beberapa hari yang lalu dan
sekarang, kenapa tiba-tiba kamu menceraikanku?”
“Apapun
bisa terjadi. Kamu jelas-jelas tak bisa memberiku anak.”
“Oh, jadi
karena itu? Bukankah ini sudah kita bahas sebelumnya mas? Dan tak jadi masalah?”
“Sekarang
jadi masalah. Kamu tidak usah bertele-tele begini, tanda tangan dan biarkan aku
pergi.”
“Pergi? Pergi
katamu? Pergi bersama perempuan bernama Vina itu? Puas kamu mas? Puas kamu
sakiti hati aku? Puas juga seluruh keluargamu memporak-porandakan perasaanku? Ada
apa sebenarnya?”
“Aku hanya
ingin bercerai, itu saja.”
(.....)
Air mataku mendadak semakin banyak
berjatuhan. Masa lalu itu benar-benar pisau yang tajam. Kini setelah semuanya
terjadi, perceraian yang mendadak, Petra yang pergi setelahnya dan aku yang
dirumbung sunyi. Ada perasaan lain yang menyeruak dari dalam dadaku. Semacam rindu.
Rindu dengan semua tentang Petra, meski ia sudah pergi meninggalkanku dan
memilih perempuan itu. Belakangan akhirnya aku tahu, bahwa Petra melakukan itu
semua hanya karena diancam oleh ibunya. Ancaman itu adalah ibunya akan berniat
menghancurkan seluruh masa depanku bila tetap melanjutkan rumah tanggaku
bersama Petra. Dan memang, ibunya telah berhasil. Ibunya berhasil membuat
semuanya hancur.
Tujuh tahun sudah kini aku bercerai
dengan Petra dan aku sudah menikah dengan lelaki pilihan orang tua. Aku hamil
dan punya anak sekarang. Terakhir kudengar kabar, bahwa Petra dan Vina tak
pernah dikaruniai anak. Lalu rumah tangga mereka juga hancur. Setelah itu kabar
Petra seolah hilang, tak pernah ada lagi. Soal anak yang belum lahir itu, bukan
aku yang mandul tapi sesungguhnya mas Petralah yang mengidam itu.
Rumah tanggaku kini sudah sangat
sempurna, tapi belakangan ini aku sering dihantui mimpi. Mimpi tentang mas Petra.
Mas Petra mendatangiku, seolah-olah nyata. Paginya kudapati sebuah surat, surat
itu berada di tumpukan koran pagi di atas meja teras rumah.
“Aku
tahu ini sudah terlambat, tapi aku ingin minta maaf atas semua yang terjadi
tujuh tahun silam. Aku malu mendatangimu dengan keadaanku yang sudah sembrawut
begini. Aku seperti tak menemui jalan keluar, aku masih saja berada dalam kabut
kegelapan. Barangkali dengan maafmu aku akhirnya menemukan setitik cahaya yang
nanti akan membawaku pulang. Pulang ke jati diriku yang sesungguhnya. Aku sungguh-sungguh
minta maaf Kinanti, aku minta maaf atas rumah tangga kita. Minta maaf untuk
almarhumah mamah yang sekejam itu memaksa. Maafkan aku atas kalimat-kalimat
cerai yang sudah kuucapkan untukmu. Aku minta maaf meski itu tak pernah
cukup...”
Kurang lebih
begitulah isinya. Pagi ini, aku memandang langit sedang mendung. Awan begitu
tebal, barangkali sebentar lagi hujan akan berjatuhan. Mengapa setiap kali yang berhubungan denganmu, hujan selalu turun
sepanjang hari? Aku menggumam dalam kesendirian yang begitu sunyi pagi ini.
Hujan seperti memutar kembali rekaman masa lalu itu.
“Dimanapun kamu saat ini mas, aku sudah
memaafkanmu. Bahkan jauh sebelum kamu memintanya. Aku memang kecewa, tapi aku
sudah memaafkanmu. Semoga kamu menemukan jalan pulang...”