Kamis, 26 September 2013

Hujan Yang Turun Sepanjang Hari

Hujan Yang Turun Sepanjang Hari.



“Aku percaya hujan yang turun akan selalu membawa ingatan, juga perihal rindu yang datang dari masa lalu.”

Koran Pagi:
Air jatuh ke bumi dengan kecepatan yang rendah karena titik hujan memiliki bentuk khusus yang meningkatkan efek gesekan atmosfer dan membantu hujan turun ke bumi dengan kecepat-an yang lebih rendah. Andaikan bentuk titik hujan berbeda, atau andaikan atmosfer tidak memiliki sifat gesekan (bayangkan jika hujan terjadi seperti gelembung air yang besar yang turun dari langit), bumi akan menghadapi kehancuran setiap turun hujan.

            Aku sedikit terkejut dengan paragraf yang baru saja kubaca dari sebuah artikel di koran pagi ini. Sebuah fakta tentang hujan, aku tersenyum sekaligus kecut juga membayangkan apabila hujan turun seperti gelembung air yang besar. Bentuk butiran kecil saja bisa menyebabkan banjir dimana-mana, apalagi bentuknya seperti gelembung? Bisa tenggelam bumi ini dan bisa dipastikan porak-poranda. Bersyukur kecepatan hujan ternyata rendah karena gesekan atmosfer. Tuhan memang menciptakan segala sesuatunya dengan pas, maka dengan itupula disebut sempurna. Barangkali.
            Namun apakah semua yang pas bisa dikatakan sempurna? Lalu kenapa aku yang disebut orang-orang ‘pas’ bersama Petra justru berujung perceraian? Ah, lagi-lagi kasus perceraian itu terburai di kepalaku. Berbagai pertanyaan seolah menghimpit dan memenuhi seisinya. Dadaku juga mendadak sempit dan tak bisa bernafas senormal tadi. Ada yang mendesak dan membuat sesak, lalu aku kembali tersesat pada kisah masa lalu.
“Apa yang menjadi kecemasanmu sayang?”
Tanya Petra di suatu sore yang gerimis, ketika mendapati diriku tengah berada di jendela memandang kejauhan jalan di depan rumah.
“Tidak ada. Aku hanya ingin menikmati sore ini, gerimisnya indah. Teduh.”
Percakapan ini adalah percakapan sehari setelah aku dan Petra duduk bersanding di depan penghulu. Mengucap janji setia dan hidup bersama dalam keadaan apapun.
            Ya, aku dan Petra bahagia bersama. Dalam keadaan apapun. Susah senang sudah kita berdua lewati. Sebelum sesuatu yang sangat besar datang menghujam rumah tangga kami. Rumah tangga yang sudah berusia tujuh tahun.
“Tadi aku menemui ibu, dia menanyakan apakah kamu sudah ada tanda-tanda kehamilan?” Masih dalam suasana gerimis yang lalu menjadi hujan deras sore itu. Kalimat dari mulut Petra berubah menjadi badai.
“Maaf...”
“Kita sudah berusaha semampunya bukan? Tapi Tuhan masih menunggu waktu yang tepat untuk memberi kita malaikat kecil. Bersabarlah...”
            Ucapan dia terakhir kali masih menguatkanku, masih memberi semangat untuk tetap bersabar meski terus diguncang oleh pertanyaan-pertanyaan yang kerap datang dari keluarga Petra. Terutama ibunya.
            Keesokan harinya datanglah badai yang sesungguhnya itu. Ibu Petra berkunjung ke rumah, disaat Petra sedang berada di kantor. Bersama seorang perempuan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Entah siapa.
“Petra belum pulang?” Tanyanya.
“Belum bu. Mau minum apa?”
“Tidak usah repot-repot. Kenalkan, ini Vina. Saudara jauh, baru saja pulang dari Amerika. Sudah S2.”
            Kalimat “sudah S2” begitu ditekankan di depanku, aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi lekas kumengerti mengingat aku hanya lulusan D1 ilmu komunikasi. Sementara di keluarga Petra pendidikan tertinggi akan menunjukkan derajat kehormatan di mata keluarga. Aku jelas-jelas sudah kalah. Namun ada yang masih tidak mengerti mengapa tiba-tiba ibu Petra datang dan memperkenalkan seorang wanita padaku?
“Kalian sudah menikah tujuh tahun tapi kok belum punya anak sih? Sebenarnya kalian itu niat gak sih? Atau justru malah kamu yang belum menginginkan seorang anak? Takut kamu tak bisa bebas kemana-mana karena harus mengurus anak?”
“....” Aku tertunduk.
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti peluru. Memang aku wanita apa sampai tak menghendaki seorang anak dari rahimku?
“Aku dan mas Petra sudah berusaha bu. Tuhan belum memberi.”
“Halah, itu pasti hanya alasan kamu saja.”
“Maaf, bu---
“Maaf terus yang kamu ucapkan. Sudah, ibu pulang saja sekarang. Sampaikan pada Petra kalau ibu datang bersama Vina. Suruh dia pulang ke rumah malam ini.”
            Aku melihat jelas amarah di wajah ibu Petra, apalagi ketika ia menatapku dan berlalu pergi tanpa menoleh lagi. Ya Allah....! badai seperti apa ini? Sabarkan hambamu ya Allah. Aku bergumam dalam sendiri.
            Petra baru pulang sore harinya, kulihat lelah nampak menggantung di wajahnya. Aku ingin segera menyampaikan pesan ibunya, tapi aku tak tega. Dia pasti lelah sekali.
“Aku siapin air hangat mas?”
“Boleh. Badan aku terasa lelah sekali.”
....
“Kamu tak keberatan jika malam ini aku ke rumah ibu?”
“Oh iya, tadi ibu memang memintamu ke sana. Tidak apa-apa mas.” Sudah kuduga, ibunya pasti sudah menelponnya terlebih dahulu. Aku jelas sudah ketinggalan langkah.
“Ibu kemari?”
“Iyah. Bersama seorang perempuan.”
“Siapa?”
“Namanya Vina.”
            Aku melihat gurat wajah Petra tiba-tiba berubah saat kusebut nama Vina. Ia mendadak tak berbicara lagi dan segera meraih jaketnya, lalu pergi. Badai itu serasa semakin mendekat, aku merasakannya. Petra pergi bahkan tak mencium keningku seperti biasa. Ada apa ini?
            Sampai akhirnya aku tahu bahwa perempuan bernama Vina adalah seseorang yang dulu dijodohkan dengan Petra. Aku tak mengerti maksudnya kenapa Vina sengaja didatangkan oleh ibu Petra dan mengapa Petra tak pulang selama tiga hari semenjak kepergiannya malam itu.
“Kemana saja mas? Mengapa semua hal tentangmu seolah-olah kau tutup dariku. Aku hubungi handphone kamu tidak aktif, aku hubungi orang di rumah ibumu tak ada seorang pun yang menjawab telponnya. Kau biarkan aku menunggu selama tiga hari tanpa kabar, apa maksudnya?”
“Aku capek. Bisa kita bahas ini nanti saja?”
            Tak ada kalimat lagi setelah itu. Dia memilih pergi mengguyur tubuhnya di kamar mandi dan tidur tanpa menyapaku sama sekali. Ada yang berbeda ketika ia tidur, selama ini ia tak pernah memunggungiku. Sekarang? Ia sudah melakukannya. Aku hanya menatap punggungnya, ingin meraih punggung itu tapi tanganku mendadak kelu. Inikah badai yang kau maksud Tuhan? Mengapa suamiku tak berani lagi memandangku?
            Keesokan harinya aku melihat dia berbicara serius di telpon. Wajahnya nampak gusar, ada kecemasan, ada kemarahan dan ada banyak hal yang menjadi tanda tanya di kepalaku.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Aku berangkat kerja dulu.”
            Siangnya ibu Petra datang bersama sejumlah surat-surat.
“Tanda tangan di sini.”
“Surat apa ini bu?”
“Surat cerai. Kamu dan Petra harus bercerai.”
“Tapi kenapa harus cerai? Aku dan Petra baik-baik saja bu.”
“Tidak. Kalian tidak baik-baik saja. Kalau kalian baik-baik saja, kalian pasti sudah punya anak. Aku tidak ingin membiarkan anak semata wayangku tak memiliki keturunan sama sekali. Jelas-jelas kamu yang tak bisa memberinya keturunan, mau tidak mau kau harus segera bercerai dengannya. Dia akan menikah dengan Vina bulan depan.”
Prangggg..............................
            Ujung kalimat ibu Petra seperti tabuhan genderang di siang hari, begitu keras begitu bergemuruh. Bahkan melebihi suara guntur sekalipun. Aku mendadak limbung. Secepat inikah badai itu melumat tubuhku?
“Ibu sekarang pulang. Bawa semua surat-surat itu. Aku tidak akan menandatangani apapun sampai mas Petra sendiri yang mengucapkan talak padaku.” Emosiku memuncak dan aku mengusir ibu Petra sambil berteriak. Aku kalap.
            Hingga malam aku menangis sejadi-jadinya. Petra belum pulang. Sementara hujan sudah bergemuruh sejak siang. Semua serba mendadak. Skenario macam apa ini yang engkau ciptakan Tuhan? Haruskah rumah tanggaku berakhir seperti ini? Mengapa hanya pertanyaan yang muncul di kepalaku bukannya jawaban? Bahkan ketika aku meminta jawaban, Kau tetap menimbunnya dengan pertanyaan?
..........
            Petra tak menjelaskan apapun, dia pulang dalam keadaan kuyup dan mabuk. Sepanjang malam ia mengigau. Aku tak bisa tidur, aku mengkhawtirkan badannya yang semalam agak hangat. Tapi ternyata tubuhnya memang tahan terhadap guyuran air hujan. Semula aku menduga ia akan demam, tapi keesokan harinya ia terbangun dengan tubuh yang segar bugar.
“Kita cerai.”
“Apa?”
“Belum jelas?”
“Aku menceraikan kamu.”
“Ini hanya lelucon bukan?”
“Bukan. Aku benar-benar menceraikanmu. Kita tak perlu sidang atau apapun, kita cukup menandatangani dokumen dan cerai.”
“Semudah itukah persoalan cerai ini bagimu mas?”
“Mudah saja.”
“Setan apa yang merasukimu? Kita masih baik-baik saja beberapa hari yang lalu dan sekarang, kenapa tiba-tiba kamu menceraikanku?”
“Apapun bisa terjadi. Kamu jelas-jelas tak bisa memberiku anak.”
“Oh, jadi karena itu? Bukankah ini sudah kita bahas sebelumnya mas? Dan tak jadi masalah?”
“Sekarang jadi masalah. Kamu tidak usah bertele-tele begini, tanda tangan dan biarkan aku pergi.”
“Pergi? Pergi katamu? Pergi bersama perempuan bernama Vina itu? Puas kamu mas? Puas kamu sakiti hati aku? Puas juga seluruh keluargamu memporak-porandakan perasaanku? Ada apa sebenarnya?”
“Aku hanya ingin bercerai, itu saja.”
(.....)

            Air mataku mendadak semakin banyak berjatuhan. Masa lalu itu benar-benar pisau yang tajam. Kini setelah semuanya terjadi, perceraian yang mendadak, Petra yang pergi setelahnya dan aku yang dirumbung sunyi. Ada perasaan lain yang menyeruak dari dalam dadaku. Semacam rindu. Rindu dengan semua tentang Petra, meski ia sudah pergi meninggalkanku dan memilih perempuan itu. Belakangan akhirnya aku tahu, bahwa Petra melakukan itu semua hanya karena diancam oleh ibunya. Ancaman itu adalah ibunya akan berniat menghancurkan seluruh masa depanku bila tetap melanjutkan rumah tanggaku bersama Petra. Dan memang, ibunya telah berhasil. Ibunya berhasil membuat semuanya hancur.
            Tujuh tahun sudah kini aku bercerai dengan Petra dan aku sudah menikah dengan lelaki pilihan orang tua. Aku hamil dan punya anak sekarang. Terakhir kudengar kabar, bahwa Petra dan Vina tak pernah dikaruniai anak. Lalu rumah tangga mereka juga hancur. Setelah itu kabar Petra seolah hilang, tak pernah ada lagi. Soal anak yang belum lahir itu, bukan aku yang mandul tapi sesungguhnya mas Petralah yang mengidam itu.
            Rumah tanggaku kini sudah sangat sempurna, tapi belakangan ini aku sering dihantui mimpi. Mimpi tentang mas Petra. Mas Petra mendatangiku, seolah-olah nyata. Paginya kudapati sebuah surat, surat itu berada di tumpukan koran pagi di atas meja teras rumah.
            “Aku tahu ini sudah terlambat, tapi aku ingin minta maaf atas semua yang terjadi tujuh tahun silam. Aku malu mendatangimu dengan keadaanku yang sudah sembrawut begini. Aku seperti tak menemui jalan keluar, aku masih saja berada dalam kabut kegelapan. Barangkali dengan maafmu aku akhirnya menemukan setitik cahaya yang nanti akan membawaku pulang. Pulang ke jati diriku yang sesungguhnya. Aku sungguh-sungguh minta maaf Kinanti, aku minta maaf atas rumah tangga kita. Minta maaf untuk almarhumah mamah yang sekejam itu memaksa. Maafkan aku atas kalimat-kalimat cerai yang sudah kuucapkan untukmu. Aku minta maaf meski itu tak pernah cukup...”
            Kurang lebih begitulah isinya. Pagi ini, aku memandang langit sedang mendung. Awan begitu tebal, barangkali sebentar lagi hujan akan berjatuhan. Mengapa setiap kali yang berhubungan denganmu, hujan selalu turun sepanjang hari? Aku menggumam dalam kesendirian yang begitu sunyi pagi ini. Hujan seperti memutar kembali rekaman masa lalu itu.

“Dimanapun kamu saat ini mas, aku sudah memaafkanmu. Bahkan jauh sebelum kamu memintanya. Aku memang kecewa, tapi aku sudah memaafkanmu. Semoga kamu menemukan jalan pulang...”

Selasa, 24 September 2013

#LegendaHororLokal : Isteriku Melayang, Anakku Menghilang.

Isteriku Melayang, Anakku Menghilang



            Sebuah peristiwa tragis baru-baru ini menggegerkan seluruh warga desa, cerita yang bergulir dari mulut ke mulut itu akhirnya sampai juga di tengah-tengah keluargaku. Tepatnya dibawa oleh kakakku yang hari itu kebetulan sedang dolan ke rumah saudara yang tinggal di daerah Jeneponto kota. Menurut informasi yang ia dengar, malam kamis 2 minggu kemarin ada peristiwa yang sangat menakutkan sekaligus memilukan.
            Ada seorang bapak-bapak yang pada malam itu isterinya akan melahirkan, karena panik ia lalu membawa isterinya ke rumah sakit terdekat. Ia berdua saja tidak ada yang mengantar, mereka adalah sepasang suami isteri yang baru saja menikah dan menempati rumah barunya. Jadi tak ada yang tahu kalau tengah malam itu isterinya akan melahirkan. Dengan kendaraan bermotor ia pun membawa isterinya yang tengah menahan sakit itu ke rumah sakit.
            Sampai di rumah sakit, ia bergegas menggendong isterinya tapi seorang suster sudah menghampirinya dengan membawa kereta dorong. Sigap, iapun meletakkan tubuh isterinya yang sudah ber “ah” “uh” itu di kereta dorong. Sang suster mendorong dengan cepat dan lekas membawanya ke ruang pertolongan pertama. Sang suami sudah panik sebab takut terjadi apa-apa dengan isteri dan anak yang masih ada di dalam kandungan itu. Ia lekat-lekat menatap wajah isterinya, meremas tangan isterinya untuk menguatkannya.
            Tiba-tiba sang suster mengucapkan sesuatu.
“Pak, tolong belikan isteri bapak air minum di apotik. Kelihatannya dia haus sekali.”
“Iya sust.”
            Sang suamipun buru-buru meninggalkan ruangan dimana isterinya mendapatkan pertolongan pertama itu. Meninggalkannya bersama seorang suster. Sekitar 2 menit sampailah sang suami tersebut ke apotik yang di maksud, jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi apotik tersebut berada di luar area rumah sakit. Tepat di depan rumah sakit itu. Pemilik apotik sedikit kaget melihat ada bapak-bapak yang tergopoh-gopoh dari arah rumah sakit.
“Darimanaki pak?” Tanya pemilik apotik.
“Dari rumah sakit pak, ada isteriku di dalam mau melahirkan. Mauka’ beli air minumt, adaji?”
            Mendengar ucapan bapak tersebut, wajah pemilik apotik pucat pasi. Sehingga menimbulkan keheranan dari bapak itu dan bertanya. “Kenapa pak? Kenapaki kaget begitu?”
“Pak, bapak tidak tahu? Rumah sakit di depan itu sudah lama kosong, rumah sakitnya sudah pindah ke rumah sakit yang baru tak jauh dari sini. Apa yang bapak lakukan di dalam sana?”
            Kalimat-kalimat yang diucapkan si pemilik apotik membuat lutut bapak itu lemas dan nyaris terjatuh karena kaget bercampur takut. Tanpa berlama-lama pemilik apotik berinisiatif untuk bergegas masuk ke rumah sakit tersebut takut sudah terjadi apa-apa pada isteri bapak itu.
“Pak, ayo pak kita masuk cepat. Jangan-jangan isteri bapak sudah tidak ada.”
            Seperti kesetanan kedua bapak itu masuk ke dalam rumah sakit dan menuju ruangan dimana isterinya berada. Tapi ada hal aneh yang segera disadari bapak itu, ternyata lampu rumah sakit yang tadi dilihatnya sangat terang justru malah remang-remang. Selain itu, menurut penglihatannya sesaat dia dan isterinya sampai di rumah sakit itu, ada banyak orang berlalu lalang. Termasuk ada beberapa suster yang kelihatan sedang asyik ngobrol dan salah satunya adalah suster yang menghampirinya dan membawakannya kereta dorong. Ternyata semua itu hanya penglihatan palsu belaka. Rumah sakit itu benar kosong melompong adanya. Tak ada siapa-siapa.
            Ia dan pemilik apotik membuka ruangan yang sudah tertutup rapat itu, ruangan dimana isterinya tadi ia letakkan bersama seorang suster. Tadinya tak bisa terbuka, ia pun berteriak-teriak memanggil isterinya tapi tak ada suara. Dengan susah payah akhirnya pintu itu mereka dobrak dan terkuaklah semuanya, ruangan itu ternyata juga remang-remang. Tak ada siapa-siapa kecuali tubuh isterinya yang sudah membiru dan kaku. Perut yang tadinya membesar kini sudah kempes dan darah berlinangan menetes ke lantai.
            Sang suami kaget bukan main dan menangis sejadi-jadinya mendapati tubuh isterinya telah kaku, nyawanya sudah melayang sementara calon anaknya raib entang kemana. Hilang. Suster yang tadi pun tak ada. Di ruangan itu tak ada apa-apa dan siapa-siapa. Justru malah terkesan angker dan sangat menakutkan.
            Peristiwa tersebut membuat siapa saja yang mendengarnya akan berkidik ketakutan dan tak mau pipis sendirian di rumahnya. Padahal jelas sekali kalau kejadiannya tuh di rumah sakit bukan di rumah mereka. -_-
            Sejujurnya saya juga sangat takut pas menulis cerita ini, sangat takut malah. Makanya hanya menulis segini saja, tidak mau menulis terlalu banyak. Cukup sekian dan terimakasih. Takut suster itu datang dan mengetuk pintu kamar saya. Aaaaakkkkkkk tidaaaakkkkk......


Jeneponto, 24 September 2013 

Sabtu, 14 September 2013

Z.A.L



Zal, entah ini kali keberapa mataku hendak berair ketika mengingatmu. Berkali-kali aku ingin membunuh ingatan tentangmu dan berkali-kali juga aku kehilangan kesanggupanku untuk melakukannya. Kenangan ini membuat dadaku naik turun, hingga nafas menjadi berat. Apa hal yang tak aku ingat atau luput dari ingatanku tentangmu? Sepertinya belum ada yang luput, aku masih ingat caramu menyatakan cinta di perpustakaan di depan teman-temanku. Aku juga masih ingat makan malam pertama kita, aku juga masih ingat kejutan-kejutan kecil yang kau berikan tiap pagi. Aku masih ingat banyak hal bahkan semuanya, juga masih ingat bagaimana kita mengakhiri semuanya dengan terpaksa. Aku juga masih ingat bagaimana aku menangis selama berhari-hari di kamar hingga aku jatuh sakit. Barangkali itu adalah patah hati terhebat yang pernah aku alami.

Semenjak semua tentangmu pergi, aku tidak tahu lagi bagaimana rasanya bergairah ketika ngobrol dengan lawan jenis. Aku tidak tahu lagi bagaimana rasanya menyukai seseorang hingga melakukan hal-hal tolol yang barangkali hanya bisa dilakukan untuk orang tertentu yang kita cintai. Aku sudah tidak ingat bagaimana memperlakukan seorang laki dengan istimewa di hati aku. Semuanya mendadak hambar, menjadi berbeda dan tak pernah sama lagi. 

Zal, untuk kali kesekian pandanganku menjadi kabur karena bulir-bulir air di mataku ruah. Kali ini pertahananku jebol. Bisakah kau tahu keadaanku saat ini? Bisakah kau inginkan lagi pertemuan antara kita? atau paling tidak merancangnya agar aku pun merasa tidak hilang dari ingatanmu. Tapi bagaimana itu semua bisa kuketahui? sementara aku sendiri tak pernah dengar lagi kabar tentangmu. Sesungguhnya aku tak bisa lagi mendefinisikan seperti apa rindu yang menumpuk di sini, aku tak bisa lagi menyebutnya sebagai rindu atau malah perbuatan sia-sia.

Aku pernah pacaran dengan beberapa laki-laki setelahmu tapi tidak pernah merasakan gairah mencintai seperti yang aku rasakan ketika bersamamu. Tidak pernah bisa merasakan getaran seperti aliran listrik ketika aku melihat punggungmu dari belakang berjalan menjauhiku. Juga tak pernah merasakan debar-debar yang seperti akan membuat jantungku hendak melompat sama seperti ketika aku bertemu dan ditatap oleh dua bola matamu yang teduh itu. Tidak pernah....

Aku merasakan kekosongan kini sedang menyesaki dadaku, aku hanya bisa menangis. Hanya itu. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan bukan? 

Zal,
Datanglah sekali lagi
meski itu untuk yang terakhir kali
Datanglah sekali lagi
meski itu untuk mengakhiri segalanya...


 

Jumat, 13 September 2013

SEPTEMBER

SEPTEMBER

Penanggalan kali ini entah kenapa berwujud mata menangis
duka begitu banyak dimana mana
berceceran di lantai rumah sakit, di ruang tamu rumahku
di rumah rumah keluargaku.

Suara sirine dari ambulance mengaung di telinga
menjerit jerit meminta tolong, pilu dimana mana
tubuh dengan kepala terbelah itu digotong
banyak orang histeris lalu jatuh bedebam tak sadarkan diri
kematian, demikian aku menyebutnya.

September,
padamulah duka duka itu diceritakan
tak sedikit keluargaku telah kau pilih dalam kematian
tak sedikit pula kau coba dengan sakit
ini bukan salahmu, itu benar
aku juga tak sedang ingin menghakimimu
aku hanya sekedar menceritakan duka yang terjadi di penanggalanmu

Kepulangan kali ini
tentang saudaraku yang berbahagia menyambut takdirnya
meski duka duka itu tetap bersemayam di kalbu kami.

September,
sudah cukupkan sedih dan perih kami di sini
Tuhan, sudah cukupkan luka itu di hati kami.




-----
13 Sept 2013

Kamis, 12 September 2013

#LegendaHororLokal : Lelaki yang Memotong Kelaminnya


Lelaki Yang Memotong Kelaminnya


Beberapa waktu lalu mungkin sekitar 2 atau 3 minggu, lupa yang jelas pernah kejadian di kampung saya. Seorang lelaki usia 23 tahun memotong kelaminnya hanya karena ia dengan ke-soktahuannya tidak akan pernah bsia menikah dan tidak akan ada perempuan yang mau sama dia. Stress dan akhirnya pada suatu pagi dia mengambil silet dan entah bagaimana kejadiannya potongan kelamin itu katanya sudah jatuh ke lantai kayu rumahnya. Saudaranya yang kebetulan melihat lelaki itu merintih kesakitan sembari memegangi selangkangannya bertanya penasaran. 
"Kenapako hah?????? Apamu sakit? Kenapako guling-guling begitu??" Dengan logat bahasa makassarnya yang kental. 
Saudaranya kaget bukan kepalang ketika melihat potongan kelamin itu berada tak jauh dari sisi lelaki itu. Serta merta saudaranya membekap mulut sendiri dan berteriak histeris, orang-orang mulai berdatangan dan membopong tubuh lelaki itu. Dibawa ke rumah sakit dalam keadaan sudah tidak sadar lagi dan darah mengalir dengan deras dari selangkangannya. Ada yang prihatin, ada juga yang tertawa (entah sisi lucunya ada dimana). 

Tak lama setelah sampai di rumah sakit, lelaki itu meninggal karena kehabisan darah. Sementara potongan kelamin tadi sudah tak tahu ada dimana. 

Orang-orang lupa bahwa potongan kelamin lelaki itu belum sempat di masukkan ke dalam kain kafan si lelaki ketika akan dikuburkan. Jadi pada tengah malam, katanya lelaki itu mendatangi tetangganya dan orang-orang di rumahnya. Ia mencari potongan kelaminnya.
Kurang lebih begini katanya:
"Carikan potongan kelaminku.... tolong... tolong carikan potongan kelaminku...."

Semua sontak terbangun bersamaan dan lekas mencari potongan kelamin itu. Semalam suntuk dicari namun tidak ditemukan juga. Baru menjelang subuh, akhirnya potongan kelamin itu ditemukan teronggok di dekat meja makan. Entah siapa yang membawa kesana, mungkin kucing, atau tikus. entahlah...

Hari itu juga, kuburan di bongkar dan potongan kelamin itu dimasukkan ke dalam kain kafan si lelaki. Terornya tak sampai disitu hingga bermalam-malam teror itu masih saja ada menghantui para tetangganya...

"Mana kelaminku.... mana........"




Sekian.

truestory: Tidak baik untuk ditiru. :))

#LEGENDAHORORRLOKAL - PARAKANG


PARAKANG


          Ada satu legenda yang kerap diceritakan penduduk desa apabila malam bulan purnama seperti ini. Menurut nenek saya jika bulan sedang bulat penuh maka tengah malam biasanya muncul atau keluarlah mahluk jadi-jadian yang disebut dengan nama “PARAKANG”. Mahluk ini sangat ditakuti oleh penduduk desa, karena ia bisa muncul dimana saja, kapan saja dengan wujud yang berbeda-beda. Bisa menjadi pepohonan, kucing, anjing dan lain-lain. Namun pada dasarnya mahluk ini adalah manusia, manusia yang memiliki ilmu hitam atau menganut ajaran tertentu yang ia peroleh dari seorang guru. Entah guru apa namanya.
          Jika bulan purnama mereka keluar dalam keadaan telanjang dan menari di bawah sinar bulan, berputar dan membawa ‘dulang’ yang sesekali ditabuhnya. Maka dari kejauhan akan terdengar sayup-sayup suara dulang yang ditabuh itu diselingi gonggongan anjing yang tiada henti. Bersamaan itu pula makan angin akan bertiup lebih aneh dari biasanya yang membuat bulu kuduk siapapun berdiri. Itu tandanya mereka sedang melakukan ritual, biasanya puncak ritual akan terjadi ketika malam jumat dan sedang bulan purnama.
          PARAKANG akan mengubah bentuknya ketika ia akan berburu mangsa. Beberapa kali saya pernah mengalami kejadian aneh sehubungan dengan mahluk jadi-jadian ini. Jika ada mahluk berupa hewan misal anjing yang kamu lihat dan kepalanya lebih besar atau kaki belakangnya lebih tinggi maka sudah pasti itu adalah jelmaan parakang. Maka berhati-hatilah karena ia bisa menghisap darahmu hingga habis dari jarak jauh sekalipun hanya dengan menatapmu dengan tajam tanpa memejam.
          Malam itu saya hendak mencari bapak di kolong rumah, kebetulan rumah saya rumah panggung. Ketika menuruni tangga ada seekor hewan yang saya tidak bisa deskripsikan bentuknya antara anjing atau kerbau. Sebab badannya besar seperti kerbau dan memiliki kepala seperti anjing dengan ekor yang pendek seperti babi. Hewan itu menyeringai ke arah saya dengan mata memerah. Tak perlu berpikir lama untuk saya bisa lari, sebab tak lama kemudian saya seperti sedang dikejar oleh hewan itu. Saya seperti orang kesurupan masuk ke kamar ibu dan memeluknya erat dengan keringat dingin sudah membanjiri. Keesokan harinya saya demam tinggi dan sempat di bawa ke rumah sakit. Setelah dicek ternyata saya kehilangan banyak darah. Entah dari mana mahluk itu menghisap darah saya yang membuat saya nyaris kehilangan nyawa.
          Semenjak peristiwa itu, saya tidak mau lagi keluar malam tanpa pengawasan ibu atau kakak saya yang lain. Akhirnya oleh nenek diceritakan bahwa untuk membuat mahluk bernama parakang itu lumpuh, maka gunakan daun kelor dan pukulkan ke arah mahluk itu sebanyak tiga kali. Maka mereka akan hilang begitu saja atau malah akan berubah ke wujud aslinya yaitu manusia.
          Parakang akan menunggu kamu di mana saja, tapi biasanya akan menunggu di bawah kolong rumah. Di pinggir jalan yang banyak pepohonan terutama pohon pisang atau di pertigaan jalan yang sepi. Wujud yang paling menyeramkan dari parakang yang pernah saya lihat adalah rambutnya panjang, muka hancur tak berbentuk, dan melayang dengan payudara yang sudah hancur pula hanya setengah dari badannya.
          Parakang akan sering mendatangi orang sakit, orang melahirkan, atau orang yang sedang hajatan. Jika mendatangi orang sakit maka bisa jadi orang sakit itu akan meninggal lebih cepat dengan seluruh tubuh membiru. Sedangkan jika ia mendatangi orang melahirkan maka anak yang dilahirkan itu akan hilang di dalam perut atau keluar dengan bentuk yang sudah hancur dan hanya berupa gumpalan daging. Jika mendatangi orang hajatan maka biasanya akan banyak orang yang ditubuhnya terdapat bilur-bilur merah keunguan. Ukurannya bisa besar sampai kecil-kecil dan seringkali bilur-bilur itu ada di paha. Membuat siapa saja akan kehilangan kesadarannya dan jatuh pingsan.
          Di desa saya ada seorang yang dicurigai adalah Parakang, di saat dia mengalami sakaratul maut itu susahnya minta ampun. Sangat lama dan bisa memakan waktu berhari-hari. Orang itu baru meninggal ketika ada sanak saudaranya atau keluarganya yang membisikinya satu kata “Lemba”. Maka tidak perlu tunggu lama orang itu akhirnya meninggal dan orang yang membisikinya ‘lemba’ serta merta menjadi Parakang juga. Lemba artinya pindah.
          Parakang seringkali menyeringai tidak jelas, bersuara aneh dan menyeramkan. “Grrrrrhhh..... guarrrrrhrhhhh.... Rrrraahhhh....!” kemudian berubah menjadi seperti desisan dan kadang juga bersenandung aneh.
          Di belakang rumah saya ada rumpun pohon pisang setiap malam kamis ada suara-suara aneh dari gesekan daun pisang. Karena semua orang di rumah tidak bisa tidur karena suara itu, maka bapak pun akhirnya bangun dan mengecek ada apa di balik pohon pisang tersebut. Mungkin maling atau apa. Karena penasaran saya dan kakak saya juga ikut di belakang bapak, tak di sangka-sangka dari balik pohon pisang itu ada seorang perempuan dengan rambut panjang hingga menyentuh tanah sedang memakan ayam yang masih hidup. Saya kaget, kakak kaget dan bapak mungkin satu-satunya orang yang tidak kaget. Lutut saya gemetar, keringat mengucur deras, saya ingin menutup mata tapi saya juga penasaran ingin melihat rupa aslinya.
          Bapak melempari batu dan tak lama kemudian mahluk itu pergi dengan sekelebat lalu hilang entah kemana. Keesokan harinya ada tetangga yang dikabarkan kena cedera di bagian punggung, tetangga saya ini sudah lumayan tua tapi belum tua sekali. Katanya semalam saat tidur seperti ada yang menimpuki dia batu hingga punggungnya memar. Dalam hati, saya akhirnya tahu kalau tetangga yang sudah lama dicurigai memiliki ilmu hitam ini adalah orang yang sama dengan orang yang semalam dilempar batu oleh bapak. Rasakan....!
Itulah kisah legenda yang hingga sekarang masih ramai diceritakan oleh penduduk desa dan Parakang itu masih ada, masih berwujud segala macam dan masih menyeramkan. Wkwkw...
Kalo sempat bertemu salah satu diantara mereka, sampaikan salamku ya. Hihi
Tuh siapa tuh berambut panjang di belakangmu, sedang menghisap darah di lehermu....... “Grrrrrhhh..... guarrrrrhrhhhh.... Rrrraahhhh....!”

Jeneponto, 13 September 2013

Kamis, 05 September 2013

PULANG

PULANG


yang kusebut pulang kali ini bukanlah semata-mata karena aku ingin kembali
tapi ragaku sudah tak lagi memuja kamu. Barangkali dalam pulang, mawar yang dulu kutanam
telah berbunga dan menjadi rekah di pagi hari. Sementara rindu sudah tak lagi menjadi hantu
dan aku bersyukur pernah membunuhnya di malam sunyi. Meski ia tak benar-benar mati.

aku pulang menunggang sepi, guyuran hujan tak hanya membuat pakaianku basah. Kedua mataku
justru lebih pandai membuat hati kuyup dan itu berarti karam sudah luka di sana.
Luka yang kemudian membusuk bersama sumpah serapah, tentang pengkhianatan, tentang kepalsuan.

Itu sebabnya aku pulang, enggan mati oleh luka
enggan suram oleh takdir
enggan terbunuh oleh rindu

Pulang...
aku tak lagi sama.


Jingga Lestari, 05 Sept 2013