Kamis, 26 September 2013

Hujan Yang Turun Sepanjang Hari

Hujan Yang Turun Sepanjang Hari.



“Aku percaya hujan yang turun akan selalu membawa ingatan, juga perihal rindu yang datang dari masa lalu.”

Koran Pagi:
Air jatuh ke bumi dengan kecepatan yang rendah karena titik hujan memiliki bentuk khusus yang meningkatkan efek gesekan atmosfer dan membantu hujan turun ke bumi dengan kecepat-an yang lebih rendah. Andaikan bentuk titik hujan berbeda, atau andaikan atmosfer tidak memiliki sifat gesekan (bayangkan jika hujan terjadi seperti gelembung air yang besar yang turun dari langit), bumi akan menghadapi kehancuran setiap turun hujan.

            Aku sedikit terkejut dengan paragraf yang baru saja kubaca dari sebuah artikel di koran pagi ini. Sebuah fakta tentang hujan, aku tersenyum sekaligus kecut juga membayangkan apabila hujan turun seperti gelembung air yang besar. Bentuk butiran kecil saja bisa menyebabkan banjir dimana-mana, apalagi bentuknya seperti gelembung? Bisa tenggelam bumi ini dan bisa dipastikan porak-poranda. Bersyukur kecepatan hujan ternyata rendah karena gesekan atmosfer. Tuhan memang menciptakan segala sesuatunya dengan pas, maka dengan itupula disebut sempurna. Barangkali.
            Namun apakah semua yang pas bisa dikatakan sempurna? Lalu kenapa aku yang disebut orang-orang ‘pas’ bersama Petra justru berujung perceraian? Ah, lagi-lagi kasus perceraian itu terburai di kepalaku. Berbagai pertanyaan seolah menghimpit dan memenuhi seisinya. Dadaku juga mendadak sempit dan tak bisa bernafas senormal tadi. Ada yang mendesak dan membuat sesak, lalu aku kembali tersesat pada kisah masa lalu.
“Apa yang menjadi kecemasanmu sayang?”
Tanya Petra di suatu sore yang gerimis, ketika mendapati diriku tengah berada di jendela memandang kejauhan jalan di depan rumah.
“Tidak ada. Aku hanya ingin menikmati sore ini, gerimisnya indah. Teduh.”
Percakapan ini adalah percakapan sehari setelah aku dan Petra duduk bersanding di depan penghulu. Mengucap janji setia dan hidup bersama dalam keadaan apapun.
            Ya, aku dan Petra bahagia bersama. Dalam keadaan apapun. Susah senang sudah kita berdua lewati. Sebelum sesuatu yang sangat besar datang menghujam rumah tangga kami. Rumah tangga yang sudah berusia tujuh tahun.
“Tadi aku menemui ibu, dia menanyakan apakah kamu sudah ada tanda-tanda kehamilan?” Masih dalam suasana gerimis yang lalu menjadi hujan deras sore itu. Kalimat dari mulut Petra berubah menjadi badai.
“Maaf...”
“Kita sudah berusaha semampunya bukan? Tapi Tuhan masih menunggu waktu yang tepat untuk memberi kita malaikat kecil. Bersabarlah...”
            Ucapan dia terakhir kali masih menguatkanku, masih memberi semangat untuk tetap bersabar meski terus diguncang oleh pertanyaan-pertanyaan yang kerap datang dari keluarga Petra. Terutama ibunya.
            Keesokan harinya datanglah badai yang sesungguhnya itu. Ibu Petra berkunjung ke rumah, disaat Petra sedang berada di kantor. Bersama seorang perempuan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Entah siapa.
“Petra belum pulang?” Tanyanya.
“Belum bu. Mau minum apa?”
“Tidak usah repot-repot. Kenalkan, ini Vina. Saudara jauh, baru saja pulang dari Amerika. Sudah S2.”
            Kalimat “sudah S2” begitu ditekankan di depanku, aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi lekas kumengerti mengingat aku hanya lulusan D1 ilmu komunikasi. Sementara di keluarga Petra pendidikan tertinggi akan menunjukkan derajat kehormatan di mata keluarga. Aku jelas-jelas sudah kalah. Namun ada yang masih tidak mengerti mengapa tiba-tiba ibu Petra datang dan memperkenalkan seorang wanita padaku?
“Kalian sudah menikah tujuh tahun tapi kok belum punya anak sih? Sebenarnya kalian itu niat gak sih? Atau justru malah kamu yang belum menginginkan seorang anak? Takut kamu tak bisa bebas kemana-mana karena harus mengurus anak?”
“....” Aku tertunduk.
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti peluru. Memang aku wanita apa sampai tak menghendaki seorang anak dari rahimku?
“Aku dan mas Petra sudah berusaha bu. Tuhan belum memberi.”
“Halah, itu pasti hanya alasan kamu saja.”
“Maaf, bu---
“Maaf terus yang kamu ucapkan. Sudah, ibu pulang saja sekarang. Sampaikan pada Petra kalau ibu datang bersama Vina. Suruh dia pulang ke rumah malam ini.”
            Aku melihat jelas amarah di wajah ibu Petra, apalagi ketika ia menatapku dan berlalu pergi tanpa menoleh lagi. Ya Allah....! badai seperti apa ini? Sabarkan hambamu ya Allah. Aku bergumam dalam sendiri.
            Petra baru pulang sore harinya, kulihat lelah nampak menggantung di wajahnya. Aku ingin segera menyampaikan pesan ibunya, tapi aku tak tega. Dia pasti lelah sekali.
“Aku siapin air hangat mas?”
“Boleh. Badan aku terasa lelah sekali.”
....
“Kamu tak keberatan jika malam ini aku ke rumah ibu?”
“Oh iya, tadi ibu memang memintamu ke sana. Tidak apa-apa mas.” Sudah kuduga, ibunya pasti sudah menelponnya terlebih dahulu. Aku jelas sudah ketinggalan langkah.
“Ibu kemari?”
“Iyah. Bersama seorang perempuan.”
“Siapa?”
“Namanya Vina.”
            Aku melihat gurat wajah Petra tiba-tiba berubah saat kusebut nama Vina. Ia mendadak tak berbicara lagi dan segera meraih jaketnya, lalu pergi. Badai itu serasa semakin mendekat, aku merasakannya. Petra pergi bahkan tak mencium keningku seperti biasa. Ada apa ini?
            Sampai akhirnya aku tahu bahwa perempuan bernama Vina adalah seseorang yang dulu dijodohkan dengan Petra. Aku tak mengerti maksudnya kenapa Vina sengaja didatangkan oleh ibu Petra dan mengapa Petra tak pulang selama tiga hari semenjak kepergiannya malam itu.
“Kemana saja mas? Mengapa semua hal tentangmu seolah-olah kau tutup dariku. Aku hubungi handphone kamu tidak aktif, aku hubungi orang di rumah ibumu tak ada seorang pun yang menjawab telponnya. Kau biarkan aku menunggu selama tiga hari tanpa kabar, apa maksudnya?”
“Aku capek. Bisa kita bahas ini nanti saja?”
            Tak ada kalimat lagi setelah itu. Dia memilih pergi mengguyur tubuhnya di kamar mandi dan tidur tanpa menyapaku sama sekali. Ada yang berbeda ketika ia tidur, selama ini ia tak pernah memunggungiku. Sekarang? Ia sudah melakukannya. Aku hanya menatap punggungnya, ingin meraih punggung itu tapi tanganku mendadak kelu. Inikah badai yang kau maksud Tuhan? Mengapa suamiku tak berani lagi memandangku?
            Keesokan harinya aku melihat dia berbicara serius di telpon. Wajahnya nampak gusar, ada kecemasan, ada kemarahan dan ada banyak hal yang menjadi tanda tanya di kepalaku.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Aku berangkat kerja dulu.”
            Siangnya ibu Petra datang bersama sejumlah surat-surat.
“Tanda tangan di sini.”
“Surat apa ini bu?”
“Surat cerai. Kamu dan Petra harus bercerai.”
“Tapi kenapa harus cerai? Aku dan Petra baik-baik saja bu.”
“Tidak. Kalian tidak baik-baik saja. Kalau kalian baik-baik saja, kalian pasti sudah punya anak. Aku tidak ingin membiarkan anak semata wayangku tak memiliki keturunan sama sekali. Jelas-jelas kamu yang tak bisa memberinya keturunan, mau tidak mau kau harus segera bercerai dengannya. Dia akan menikah dengan Vina bulan depan.”
Prangggg..............................
            Ujung kalimat ibu Petra seperti tabuhan genderang di siang hari, begitu keras begitu bergemuruh. Bahkan melebihi suara guntur sekalipun. Aku mendadak limbung. Secepat inikah badai itu melumat tubuhku?
“Ibu sekarang pulang. Bawa semua surat-surat itu. Aku tidak akan menandatangani apapun sampai mas Petra sendiri yang mengucapkan talak padaku.” Emosiku memuncak dan aku mengusir ibu Petra sambil berteriak. Aku kalap.
            Hingga malam aku menangis sejadi-jadinya. Petra belum pulang. Sementara hujan sudah bergemuruh sejak siang. Semua serba mendadak. Skenario macam apa ini yang engkau ciptakan Tuhan? Haruskah rumah tanggaku berakhir seperti ini? Mengapa hanya pertanyaan yang muncul di kepalaku bukannya jawaban? Bahkan ketika aku meminta jawaban, Kau tetap menimbunnya dengan pertanyaan?
..........
            Petra tak menjelaskan apapun, dia pulang dalam keadaan kuyup dan mabuk. Sepanjang malam ia mengigau. Aku tak bisa tidur, aku mengkhawtirkan badannya yang semalam agak hangat. Tapi ternyata tubuhnya memang tahan terhadap guyuran air hujan. Semula aku menduga ia akan demam, tapi keesokan harinya ia terbangun dengan tubuh yang segar bugar.
“Kita cerai.”
“Apa?”
“Belum jelas?”
“Aku menceraikan kamu.”
“Ini hanya lelucon bukan?”
“Bukan. Aku benar-benar menceraikanmu. Kita tak perlu sidang atau apapun, kita cukup menandatangani dokumen dan cerai.”
“Semudah itukah persoalan cerai ini bagimu mas?”
“Mudah saja.”
“Setan apa yang merasukimu? Kita masih baik-baik saja beberapa hari yang lalu dan sekarang, kenapa tiba-tiba kamu menceraikanku?”
“Apapun bisa terjadi. Kamu jelas-jelas tak bisa memberiku anak.”
“Oh, jadi karena itu? Bukankah ini sudah kita bahas sebelumnya mas? Dan tak jadi masalah?”
“Sekarang jadi masalah. Kamu tidak usah bertele-tele begini, tanda tangan dan biarkan aku pergi.”
“Pergi? Pergi katamu? Pergi bersama perempuan bernama Vina itu? Puas kamu mas? Puas kamu sakiti hati aku? Puas juga seluruh keluargamu memporak-porandakan perasaanku? Ada apa sebenarnya?”
“Aku hanya ingin bercerai, itu saja.”
(.....)

            Air mataku mendadak semakin banyak berjatuhan. Masa lalu itu benar-benar pisau yang tajam. Kini setelah semuanya terjadi, perceraian yang mendadak, Petra yang pergi setelahnya dan aku yang dirumbung sunyi. Ada perasaan lain yang menyeruak dari dalam dadaku. Semacam rindu. Rindu dengan semua tentang Petra, meski ia sudah pergi meninggalkanku dan memilih perempuan itu. Belakangan akhirnya aku tahu, bahwa Petra melakukan itu semua hanya karena diancam oleh ibunya. Ancaman itu adalah ibunya akan berniat menghancurkan seluruh masa depanku bila tetap melanjutkan rumah tanggaku bersama Petra. Dan memang, ibunya telah berhasil. Ibunya berhasil membuat semuanya hancur.
            Tujuh tahun sudah kini aku bercerai dengan Petra dan aku sudah menikah dengan lelaki pilihan orang tua. Aku hamil dan punya anak sekarang. Terakhir kudengar kabar, bahwa Petra dan Vina tak pernah dikaruniai anak. Lalu rumah tangga mereka juga hancur. Setelah itu kabar Petra seolah hilang, tak pernah ada lagi. Soal anak yang belum lahir itu, bukan aku yang mandul tapi sesungguhnya mas Petralah yang mengidam itu.
            Rumah tanggaku kini sudah sangat sempurna, tapi belakangan ini aku sering dihantui mimpi. Mimpi tentang mas Petra. Mas Petra mendatangiku, seolah-olah nyata. Paginya kudapati sebuah surat, surat itu berada di tumpukan koran pagi di atas meja teras rumah.
            “Aku tahu ini sudah terlambat, tapi aku ingin minta maaf atas semua yang terjadi tujuh tahun silam. Aku malu mendatangimu dengan keadaanku yang sudah sembrawut begini. Aku seperti tak menemui jalan keluar, aku masih saja berada dalam kabut kegelapan. Barangkali dengan maafmu aku akhirnya menemukan setitik cahaya yang nanti akan membawaku pulang. Pulang ke jati diriku yang sesungguhnya. Aku sungguh-sungguh minta maaf Kinanti, aku minta maaf atas rumah tangga kita. Minta maaf untuk almarhumah mamah yang sekejam itu memaksa. Maafkan aku atas kalimat-kalimat cerai yang sudah kuucapkan untukmu. Aku minta maaf meski itu tak pernah cukup...”
            Kurang lebih begitulah isinya. Pagi ini, aku memandang langit sedang mendung. Awan begitu tebal, barangkali sebentar lagi hujan akan berjatuhan. Mengapa setiap kali yang berhubungan denganmu, hujan selalu turun sepanjang hari? Aku menggumam dalam kesendirian yang begitu sunyi pagi ini. Hujan seperti memutar kembali rekaman masa lalu itu.

“Dimanapun kamu saat ini mas, aku sudah memaafkanmu. Bahkan jauh sebelum kamu memintanya. Aku memang kecewa, tapi aku sudah memaafkanmu. Semoga kamu menemukan jalan pulang...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar