Kabar kepergianmu begitu tiba-tiba, aku bahkan hanya mendengarnya dari seorang teman (kenalan) via telpon sesaat setelah ia menerima sebuah pesan lewat handphonenya yang mengabarkan bahwa seorang penyair, akademisi di Makassar telah meninggal, Ahyar Anwar. Ya DR. Ahyar Anwar yang selama ini kukenal. Tidak ada perjumpaan diantara kita, hanya ada janji yang waktu itu aku sempat iyakan, lalu sebutlah aku seorang yang tak tepat janji atas ini. Bahkan di saat kepergianmu aku sama sekali tidak mendatangi peristirahatan terakhirmu.
Katamu "Orang-orang akan menyadari makna dan nilai karya-karya saya setelah kematian saya nanti."
-Ahyar Anwar dalam Seminar Sastra di Jurusan Bahasa Inggris UNM sekitar tahun 2007-2008.
Iya dan itu tentu saja benar. Karya-karyamu adalah cinta yang tak pernah habis dibicarakan, darimulah aku belajar bagaimana memperlakukan rindu lewat aksara dan melewatinya dengan kesabaran tanpa menuntut. Lewat syairmu, lewat sajakmu, lewat tulisanmu. Hatiku mendadak pilu dan perih mendapati kabar ini, terlebih karena satu perjumpaan pun tak pernah ada untukku.
"MENIDURKAN CINTA" Barangkali itu yang kau lakukan saat ini, bertemu cinta yang sesungguhnya dan rindu yang sesungguhnya. Seperti halnya ucapmu;
"Di rinai hujan yang sama, di cahaya bulan yang sama, di hembusan angin yang sama, di kabut malam yang sama, aku kehilangan bayangan cinta tapi aku menemukan rindu yang sama..."Lewat cinta yang kau sebar ada motivasi yang selalu engkau sampaikan, bahwa mencintailah selagi engkau mampu dan merindulah selagi engkau merasa layak. Mungkin itulah makna yang bisa kusimpulkan setiap kali aku membaca-mu. Tak ada kata letih, lelah apalagi kalah. Engkau mengajarkan kepada banyak orang tentang realita yang kadang jadi bahan banyolan padahal itu sama sekali tak lucu. Kau adalah pencinta dan perindu sejati. Kepada wajah teduhmulah aku pernah menyimpan diam-diam segumpal rasa. Anggap saja itu konyol dan aku menikmatinya. Hanya diam-diam. Seperti itulah aku mengagumimu.
Dan ketika instrumen violin itu mengalun hatiku basah oleh airmata, mengenang perjumpaan yang tak pernah terjadi, mengenang janjiku yang terlanjur sirna. Maaf...
Ini sebuah perpisahan kecil, perpisahan terakhirku untukmu...
Pada malam ketika kudengar kepergianmu, aku berusaha menyembunyikan sesak yang menyerang tiba-tiba lewat geriap tawa. Namun, pada akhirnya aku berani mengatakan bahwa tawa itu sesungguhnya tak pernah ada. Hatiku menjelma biru, tak lagi jingga yang sama seperti warna senja yang sering kau ceritakan. Tak ada cerita memang diantara kita, juga tak ada kisah yang perlu dibanggakan sebab memang tak ada itu. Aku hanya pengagum yang selalu ingin membaca setiap tulisanmu, mengenal sosokmu lewat kata yang sudah coba kau rangkaikan. Ini tentang aku, bukan tentang kamu k. Perihal engkau yang sudah lebih dulu, maka tak ada hakku untuk menahan takdir. Sudah itu dan terjadi.
Diantara gelak tawa yang ada
kutemukan satu yang merupakan warnamu
kelembutan, keteduhan, penyerahan
itulah yang kau miliki
Pada semesta kau tak punya rahasia
Hanya pada kematian kau seperti serahasia
yang membentuk kotak-kotak teka-teki di kepalaku
Bagaimana bisa aku menjawabnya sendiri?
Aroma melati itukah aroma yang sepagi tadi adalah kabar tentangmu
Kabar mengejutkan tak aku duga duga
bagaimana bisa kita berpisah tanpa pertemuan?
tapi itu benar tak ada pertemuan berarti kita tak aka pernah terpisah
Sebagaimana hujan yang menyimpan serahasia
barangkali padanyalah kutitipkan tangisku yang kutahan dalam hening
bersama doa-doa yang juga kulangitkan malam ini
Berbahagialah karena pada akhirnya kau menemukan cinta dan rindumu yang sebenarnya
Al-Fatihah...
-----
Jenuh menunggu cerita,
bersama bayangan semu...
rindu mencumbu pelangi,
bersama jejari yang terselip ke dalam jejari
-----
Aku rasa telah sampai pada akhir dimana kelak hanya rindu yang menghadirkanmu di sini.
selamat jalan kakak, selamat jalan seseorang yang kukagumi keteduhan di wajahnya....
Innalillahi wainna ilaihi roji'un...
Jingga Lestari, 28 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar